Dalam perjalanan hidupnya manusia membutuhkan
kalender atau penanggalan dalam mempeoleh urutan waktu yang benar. Penaggalan
ini telah ada sejak dulu kala, mulai dari bentuk dan sitem yang sederhana kemudian
terus berkembang menjadi lebih baik dan praktis. Meskipun demikian patokan yang
digunakan tetap sama yaitu berkiblat pada peredaran matahari dan bulan.
Di
Indonesia, selain mengunakan kalender Hijriyah (Kalender Islam) dan Kalender
Masehi juga dikenal Penanggalan Jawa, yang digunakan khusus oleh masyarakat
jawa. Penaggalan jawa ini digunakan oleh para petani tradisional khususnya di
daerah jawa dalam menentukan musim bercocok
tanam dll. Sebagai petani tradisional yang tidak memiliki peralatan khusus sebagai
penentu waktu, juga karena minimnya pengetahuan sehingga tak mampu dalam
menciptakan suatu system penentu waktu dengan menggunakan peralatan canggih
seperti sekarang. Mereka menentukan musim panen dengan memperhatikan perubahan
iklim yang bergantian secara periodik[1].
Cara
dan sistem itu sudah demikian lama berlaku, dan mendarahdaging dalam kehidupan
petani Jawa. Bisa dikatakan, cara dan sistem mengakrabi dan menanggulangi
kekuatan alam itu sudah menjadi semacam budaya.[2]
Dari
latar belakang yang telah penulis paparkan di atas dapat dirumuskan beberapa
masalah yaitu :
1.
Bagaimana sejarah penanggalan Pranatamangsa ?
2.
Bagaimana pemikiran penaggalan Pranatamangsa?
3.
Bagaimana sistem perhitungan penanggalan Pranatamangsa?
4.
Bagaimana keterkaitan Pranatamangsa denga
Astronomi?
5.
Bagaimana keakurasian kalender Pranatamangsa pada
zaman sekarang?
A.
SEJARAH PENAGGALAN PRANATAMANGSA
Pranatamangsa
berasal dari kata pranata yang berarti aturan dan mangsa
yang berarti musim, jadi secara bahasa Pranatamangsa adalah
pengaturan musim. Secara istilah Pranatmangsa adalah suatu penanggalan yang
berkaitan dengan musim menurut pemahaman Suku Jawa, khususnya dari kalangan petani dan nelayan. Pemahaman yang
mirip seperti ini juga dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia,
seperti Suku Sunda
dan Suku Bali (dikenal sebagai Kerta Masa), atau di beberapa tradisi Eropa,
seperti pada Bangsa Jerman (dikenal sebagai Bauernkalendar,
atau "penanggalan untuk petani")[3].
Pranatamangsa merupakan bagian dari Petangan Jawi, yaitu suatu penanggalan orang jawa yang berupa
rangkaian dari bermacam-macam petangan seperti wuku, peringkelan, padewan, dll.
Sistem penaggalan Pranatamangsa ini mengikuti penaggalan Syamsiyah (solar) sama
halnya dengan kalender saka (kalender Sultan Agung ), dan Kalender Masehi. [4]
Pranatamangsa
ini mempunyai seluk beluk yang tak kalah rumitnya dengan Pranatamangsa Mesir
kuno, Cina, Maya dan Burma. Kata Daljoeni: "Di dalam Pranatamangsa
terdapat pertalian yang mengagumkan antara aspek-aspeknya yang bersifat
kosmografis, bioklimatogis yang mendasari kehidupan sosial-ekonomi dan
sosial-budaya masyarakat bertani di pedesaan. Sebagai keseluruhan pranatamangsa
mencerminkan ontologi menurut konsepsi Jawa serta akhetip alam pikiran petani
Jawa yang dilukiskan dengan berbagai lambang yang berupa watak-watak mangsa
dalam peristilahan kosmologis yang mencerminkan harmoni antara manusia, kosmos, dan realitas[5].
Penaggalan
tersebut mendasarkan diri pada tahun surya dengan lama 365 hari. Meskipun Pranatamangsa
sudah berlaku sejak dahulu kala milik orang jawa, namun pembakuannya baru
diadakan pada waktu Sri Paku Buwana VI memerintahkan kerajaan Surakarta, yaitu
pada tahun 1855[6]. Pembakuan tersebut
dimaksudkan untuk sekadar menguatkan sistem penanggalan yang mengatur tata
kerja kaum tani dalam mengikuti peredaran musim dari tahun ke tahun[7]
.
Dalam
pembakuan tersebut, ahli perbintangan kraton memang cukup berjasa. Kendati
demikian itu tidak berarti bahwa mereka telah menciptakan sesuatu yang baru.
Sebab sesungguhnya, penanggalan itu sudah ada dalam hidup petani Jawa turun
temurun. Bahkan sebelum kedatangan orang-orang Hindu, nenek moyang kita sudah
akrab dengan peredaran bintang-bintang di langit yang mendasari pengetahuan
tentang perulangan musim.
Dengan adanya Pranatamangsa, orang-orang
menjadi memiliki pedoman yang jelas untuk bertani, berdagang, menjalankan
pemerintahan dan keserdaduan. Salah satu contohnya adalah kerajaan-kerajaan
Mataram Lama, Panjang, dan Mataram Islam meraih keberhasilan dan keagungannya
dengan menggunakan penanggalan ini dalam berperang dan mempertahankan diri.
Dengan Pranoto- mongso, petani menjadi memiliki pegangan dalam bercocok tanam
agar hasil tanaman baik[8].
B. PEMIKIRAN PENAGGALAN PRANOTO MONGSO
Kalender
Pranatamangsa dihitung berdasarkan perjalanan Matahari yang pada zaman dahulu
digunakan oleh orang-orang di tanah Jawa sebagai patokan untuk mengetahui
musim. Jumlah bulan pada kalender ini ada 12, yaitu :
1. Kasa : “Sotyo murco saking embanan” (mutiara
lepas dari pengikatnya
Musim
daun-daun gugur pohon-pohon jadi gundul. Musim ini jatuh saat matahari diatas
zenith u/ garis balik utara bumi. Kondisi
meteorologisnya adalah sinar matahari 76%, lengas udara 60,1%, curah hujan 67,2
mm, suhu udara 27,4°C. Manusia di masa ini merasa ada sesuatu yang hilang dalam
alam, walau cuacanya terang. Sotya Murca ing embanan (ratna jatuh dari tatahan)
adalah watak
mangsa ini.
2. Karo : “Bantolo Rengko” (tanah
retak)
Musim tanah
jadi gersang dan retak-retak. Curah hujan pada masa ini turun menjadi 32,2 mm
3. Katigo : “Suto manut ing bopo”
Musim pucuk
tanaman menjalar pada rambatan. Gejala yang dialami adalah sumur mengering dan
angin berdebu. Namun curah hujan naik pada masa ini naik menjadi 42,2 mm.
4. Kapat :
“Waspo kumembeng jroning kalbu”
Musim
sumber-sumber jadi kering.. Jatuh pada musim labuh. Pada masa ini kemarau
berakhir. Kondisi meteorologisnya adalah sinar matahari 72%, lengas udara 75,5
%, curah hujan 83,3 mm, suhu udara26,7°C.
5. Kalimo : “Pancuran emas sumawur ing jagad”
Mulai musim
hujan. Curah hujan naik pada mangsa ini naik menjadi 151,1%. Gejala pertama mangsa ini adalah
turunnya hujan yang tidak begitu deras.
6. Kanem : “Roso
mulyo kasucian”
Musim
pohon-pohon mulai berbuah. Mangsa ini berada pada musim udan. Curah hujan
menjadi tinggi yaitu 402,2 mm
7. Kapitu :
“Wiso kenter ing maruto”
Musim
bertiupnya angin yang mengandung bias (penyakit). Pada mangsa ini matahari ada di
zenit garis balik selatan bumi (22 desember). Sinar matahari menjadi 67%,
lengas udara 80%, curah hujan 501,4 mm, suhu udara 26,2 %. Musim ini dikenal
juga sebagai musim datangnya penyakit dan alam ditandai dengan adanya banjir.
8. Kawolu : “Anjrah
jroning kayun”
Musim kucing
kawin, padi mulai berubah, banyak uret. Curah hujan turun pada masa ini turun
menjadi 371,8 mm
9. Kasongo : “Wedaring wono mulyo”
Musim
jangkrik, gasir, gareng poung, (banyak orang bicara berlebih-lebihan). curah
hujan turun menjadi 252,5 mm
10. Kasepuluh : “Gedong
mineb jroning kalbu”
Musim
binatang-binatang hamil. Sinar matahari menjadi 60%, lengas udara 74%, curah
hujan 181,6 mm, suhu udara 27,8°C. Gejala yang muncul adalah awal
perkembangbiakan atau masa di mana binatang bertelur dan berabak. Pada masa ini
orang mudah lesu dan pusing karena sebentar lagi mau musim kemarau.
11. Dastho : “Sotyo sinoro wedi”
Musim
burung-burung menyuapi anaknya. . pada musim panen. Curah hujan menurun menjadi
129,1 mm Gejala yang kerap dialami adalah burung-burung mulai menetas, alam
dalam hal ini mulai menunjukan daya ciptanya lagi. Kesuburan seakan diasah
lagi, kendati kemarau sudah diambang mata
12. Sodo : “Tirto
sah saking sasono” (air pergi dari tempatnya)
Musim dingin, orang jarang berkeringat karena teramat dingin.
Jatuh pada musim terang. Curah hujan pada masa ini naik menjadi 149,2 mm. Hujan
mulai sungguh habis dan kemarau mulai tiba. Masa ini juga termasuk mangsa yang
panjang, yaitu selama 41 hari. [9]
Pada
mulanya, Pranatamangsa hanya mempunyai 10 mongso. Sesudah mongso kesepuluh
tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mongso yang pertama (kasa atau
kartika) yakni tanggal 22 Juni. Masa menunggu itu cukup lama, sehingga
akhirnya ditetapkan sebagai mongso yang kesebelas (destha atau padawana)
dan mongso yang kedua belas (sadha atau asuji). Sehingga satu
tahun menjadi genap 12 mongso. Hari pertama mongso kesatu dimulai pada 22 Juni.[10]
Periode-periode
musim yang ditandai dengan nama-nama mangsa itu berulang secara teratur dalam
setiap tahun. Petani dapat membuktikan pengulangan musim yang teratur itu
dengan mengamati rasi bintang yang muncul secara teratur dan periodik pula.
Misalnya, rasi bintang Lumbung (Crux) pada mangsa katelu, Banyakangkrem
(scorpio) pada mangsa kalima, Waluku (Orion) pada mangsa kasapuluh, wuluh
(pleyades) pada mangsa kasambilan, wulanjarngirim (Centauri) pada mangsa
kawolu, bimasakti (Milkmay)) pada mangsa kapitu, dan sebagainya
Munculnya
rasi bintang tertentu, disusul oleh munculnya rasi bintang tertentu lainnya
adalah patokan untuk menentukan saat mulai serta saat berakhirnya masing-masing
mangsa. Berbarengan dengan itu, panjang bayangan manusia pada tengah hari juga
dipakai untuk menentukan panjang pendeknya suatu mangsa tertentu. Di samping
itu, dalam pembagian mangsa-mangsa, petani juga memperhatikan asal-usul angin
serta gerakan-gerakan angin. Sesungguhnya semuanya itu tidaklah lain daripada
penyesuaian udara pada pergeseran perjalanan matahari di sepanjang tahun.[11]
Seperti
yang telah disebutkan di atas, bahwa perhitungan Pranatamangsa membawakan watak
dan pengaruh. Maka kita akan menjelaskan tentang mongso tersebut. Mongso yang
membawa watak bawaan atau pengaruh itu ada tiga, yaitu;
1.
Kasa (kartika), watak
(pengaruhnya) : dedaunan rontok, kayu-kayu patah di atas. Saat mulai menanam
palawija, belalang bertelur. Bayi yang lahir dalam mongso. Kasa ini berwatak
belas kasihan.
2. Karo (poso), watak (pengaruhnya) : tanah retak, tanaman
palawija harus dicarikan air, pohon randu dan mongso tumbuh daun-daunnya. Bayi
yang lahir dalam mongso itu wataknya ceroboh, kotor.
3.
Sodo (asuji), watak
(pengaruhnya) : musim dingin, jarang orang berkeringat. Usai panen. Bayi yang
lahir dalam masa itu wataknya cukupan.[12]
Dinamika
alam ini tidak pernah membohongi petani. Suatu saat nanti, alam pasti akan
memberikan berkahnya, setelah semua proses pertumbuhan dilalui. Ini tentu
membuat petani mampu bertahan dalam segala kesulitannya
Selain
berguna bagi petani, penanggalan ini pun bermanfaat bagi para nelayan, akan
tetapi bukan memanfaatkan mangsa-mangsa seperti halnya petani, akan tetapi
nelayan disini menggunakan rasi bintang. Mereka mengetahui pada bulan-bulan
berapa saat yang baik melaut sehingga mereka bisa mendapatkan ikan banyak.
Begitu pula sebaliknya, mereka juga mengetahui kapan waktu untuk tidak melaut
karena berbahaya dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Dan pada saat-saat itulah
mereka gunakan waktu untuk beraktivitas yang lain, seperti memperbaiki jaring,
perahu, rumah dan dll[13].
Dari
ketetapan yang mereka buat dengam memperhatikan alam ini menumbuhkan adanya
suatu kepercayaan atau keyakinan akan adanya dewa poada masing-masing mangsa.
Seperti pada masa kasa dewanya adalah wisnu binatangnya domba, kemudian mangsa
karo dewanya adalah sambu dengan bitantang banteng, dan sebagainya.
C. SISTEM PERHITUNGAN PENANGGALAN PRONOTO MONGSO
Jumlah
bulan dalam kalender ini sama dengan jumlah bulan pada kalender Masehi maupun
Hijriah yaitu terdiri dari 12 bulan. Sedangkan cara membuat dan masuknya bulan
pada kalender ini, cukup dengan mengikutkannya dengan kalender Masehi pada
tanggal dan bulan yang sudah ditentukan.[14]
MONGSO
|
UMUR
(HARI)
|
PERMULAAN
MONGSO
|
DEWA dan
SIMBOLNYA
|
|
1.
|
Kaso (kartika)
|
41
|
22 Juni – 1 Agustus
|
Wisnu dengan simbol domba
|
2.
|
Karo (poso)
|
23
|
2 Agustus - 24 Agustus
|
Sambu dengan simbol banteng
|
3.
|
Katelu
|
24
|
25 Agustus - 17 September
|
Rudra dengan simbol
tumbuhan bertunas
|
4.
|
Kapat (sitra)
|
25
|
18 September - 12 Oktober
|
Yomo dengan simbol
kepiting
|
5.
|
Kalima (manggala)
|
27
|
13 Oktober - 8 November
|
Metri dengan simbol singa
|
6.
|
Kanem (naya)
|
43
|
9 November - 21 Desember
|
Naya dengan simbol roro
Kenya
|
7.
|
Kapitu (palguna)
|
43
|
22 Desember - 2 Februari
|
Shangyang dengan simbol
neraca
|
8.
|
Kawolu (wasika)
|
26/27
|
3 Februari - 28 Februari
|
Dhurma dengan simbol
kelabang
|
9.
|
Kasongo (jita)
|
25
|
1 Maret - 25 Maret
|
Wasan dengan simbol
burung garuda
|
10.
|
Kasepuluh (srawana)
|
24
|
26 Maret - 18 April
|
Basuki dengan simbol
kambing
|
11.
|
Dastho (pradawana)
|
23
|
19 April - 11 Mei
|
Prajapati dengan symbol
air tumpah
|
12.
|
Sodo (asuji)
|
41
|
12 Mei - 21 Juni
|
Gana dengan symbol mina/
ikan
|
Dari tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada
dasarnya dapat diketahui bahwa bahwa petani membagi setahun dalam empat mangsa
utama, yakni mangsa terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (86 hari),
pengarep-arep (98 hari). Simetris dengan pembagian tersebut, juga ada pembagian mangsa utama seperti
berikut ini: mangsa katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94 hari),
mareng (88 hari). Lalu dengan peletakan yang demikian simetris, demikianlah
tempat dua belas mangsa ditaruh dalam siklus tahunan yang selalu berulang[16]
- Satu tahun yang panjangnya 365 hari dibagi
menjadi 2 tengah tahunan. Masing-masing tengah tahunan dipecah lagi atas 6
mangsa, yang panjang harinya berturut-turut adalah:41-23-24-25-27-43.
- Dalam pada itu, mangsa ke-I (kasa) dimulai pada
saat matahari ada di zenith untuk garis balik Utara Bumi (tropic of
Cancer), yakni tanggal 22 Juni. Mangsa ke VII (kapitu) dimulai pada
tanggal 22 Desember ketika matahari ada di zenith garis balik Selantan
Bumi (tropic of Capricorn).
- Kedua periode tengah tahunan itu saling
bergandengan pada mangsa yang paling panjang, yakni mangsa terang (mangsa
sadha dan kasa) yang lamanya 82 hari dan mangsa udan (mangsa kanem dan
mangsa kapitu) yang lamanya 86 hari.
- Mangsa terang diapit oleh dua mangsa yang
kontras, yakni mangsa panen (mangsa dhestha) dan mangsa paceklik (mangsa
karo). Mangsa udan diapit oleh dua mangsa dengan letak matahari di zenith
untuk pulau Jawa, yakni mangsa kalima dan mangsa kawolu.
- Mangsa pangarep-arep (harapan) yang mengandung musim berbiak bagi berbagai hewan serta tanaman makanan pokok, berhadapan dengan mangsa semplah (putus asa) yang masing-masing meliputi mangsa, yakni kawolu, kasanga, kasapuluh berhadapan dengan mangsa katelu, kapapat dan kalima.
D. KETERKAITAN KALENDER PRANATAMANGSA DENGAN ASTRONOMI
Jika ditelisik maka akan jelas ditemukan
adanya keterkaitan antara astronomi dan penaggalan Pranatamangsa. Hal ini jelas
karena dalam penetuan tiap-tiap mangsa atau musim tak luput dari perhatiannnya
terhadap gerak relatif matahari. Khususnya jika dikatkan dengan gerak rasi
bintang pada malam hari. Thomas Djamaludin mengatakan bahwa rasi bintang
berubah sesuai dengan perubahan posisi mataharri relatif terhadap matahari yang
terkait dengan musim. Contohnya musim rendheng (musim hujan) ditandai
dengan terlihatnya rasi orion (waluku). Hal ini digunakan para petani sebagai
acuan uantuk mulai menanam padi, selain itu juga para nelayan yang akan
berlayar[17].
Perjalanan siklus pranatamangsa yang berpacu
pada gerak matahari sama halnya dengan kalende masehi. Yaitu berawal saat
matahri berada dditas zenith di belahan bumu bagian utara pada tanggal 22 Juni.
Kemudian berputarr dan memebentuk satu garislurus yang memebagi musim ini
secara global menjadi dua bagian. Tepatnya 22 Desember ketika matahari berada
tepat diatas zenith pada belahan bumi bagian selatan.
E. KEAKURASIAN PENAGGALAN PRANATAMANGSA PADA ZAMAN
SEKARANG
Dari paparan di atas tampak, bahwa
pranatamangsa menyimpan pengalaman manusia dalam bergaul dengan tantangan dan
berkah alam. Pranatamangsa
juga merupakan abstraksi dan refleksi manusia tentang pengalaman hidupnya
dengan alam. Dengan refleksinya itu, manusia belajar bagaimana selanjutnya
menyiasati sikap dan tindakannya terhadap alam.
Dalam pranatamangsa juga amat tampak, betapa petani Jawa sangat akrab dengan alam. Bagi petani Jawa, alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan, melainkan teman yang dicintai. Karena keakrabannya itu, petani Jawa mengenal segala watak dan perilaku alam. Watak dan perilaku tersebut diterima dan dirumuskan dengan bahasa yang manusiawi.
Dalam pranatamangsa juga amat tampak, betapa petani Jawa sangat akrab dengan alam. Bagi petani Jawa, alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan, melainkan teman yang dicintai. Karena keakrabannya itu, petani Jawa mengenal segala watak dan perilaku alam. Watak dan perilaku tersebut diterima dan dirumuskan dengan bahasa yang manusiawi.
Keteraturan yang ada dalan penanggalan Pranatamangsa
memang pas dan sesuai dengan yang ditanggalkan. Misalnya, pada mangsa kawolu,
yang dimulai sekitar awal Februari sampai awal Maret. Saat ini ditandai dengan
guntur yang bersahut-sahutan. Suasana terasa sedih, walau alam sedang diguyur
kesegaran hujan. Pada saat ini manusia dapat berjaga-jaga ketika akan
menghadapi musim ini.Karena itu mangsa ini juga disebut mangsa paceklik
rendhengan. Wataknya "anjrah jroning
kayun" juga disebut pula cantika,
yang artinya terhenti segala pikiran, perasaan dan kehendak.[18].
Kemudian datang Mangsa kawolu, berserta mangsa kasanga
dan kasapuluh itu, panjangnya kurang lebih 75 hari, mulai 3 Februari sampai 19
April. Mangsa ini juga disebut mangsa pangarep-arep, mangsa harapan. Yaitu
untuk panen karena padi telah menguning. Kemudian disusul masa penantian datangnya mangsa dhesta,
yaitu mangsa panen. Pranatamangsa memberi petani pegangan, bagaimana mereka
mengatur ekonominya dengan harapan dan keputus asan seperti datangnya musim
paceklik dan musim subur.
Akan tetapi melihat kondisi alam sekarang yang semakin panas,
karena adanya global warming maka di masa depan, budaya pranatamangsa pasti
merupakan salah satu titik atau lokasi dalam peta bahaya pemanasan global di
atas. Jelasnya, pemanasan global pasti meniadakan budaya pranatamangsa itu.
Apalagi, tak usah kita menunggu datangnya bencana dahsyat itu, sekarang pun
budaya pranatamangsa hampir tak mempunyai jejak dan bekasnya lagi dalam
kehidupan petani Jawa. Seperti kejadian alam untuk musim hujan pada bulan
Desembaer-Januari-Februari itu bukan musim hujan yang selalu tetap dan bersifat
statis. Kalau kita lihat kejadian hujan di negara ini, maka kita akan merasa
bahwa seolah-olah hujan itu turun dengan sendirinya dan susah untuk diprediksi
musimnya. Padahal dulunya, musim hujan itu pada bulan Oktober sampai bulan
Maret. Sedangkan musim kemarau itu dimulai dari bulan April sampai bulan
September.
Jadi menurut penulis, budaya Pranatamangsa tdaklah relevan lagi. .
Nenek moyang kita mengambil rumus Pranatamangsa dengan cara melihat kebiasaan
kejadian-kejadian alam pada masa itu. Dan untuk saat ini kejadian tersebut
sudah tidak beraturan, dan sulit untuk dirumuskan kapan kejadian tersebut akan
terjadi. Memang karena modernitas dengan
segala akibatnya, baik yang positif maupun yang negatif, budaya pranatamangsa
ini sedang dalam keadaan pudar. Apalagi nanti, jika perubahan iklim betul-betul
terjadi, bisa jadi budaya pranatamangsa akan sirna sama sekali. Itu berarti,
modernitas yang ikut menyebabkan terjadinya perubahan iklim, melenyapkan suatu
kekayaan budaya yang telah demikian lama menghidupi dan menuntun petani Jawa
dalam mengolah tanah dan pertaniannya.
Mungkin hal tersebut merupakan
konsekuensi yang tak terhindarkan bagi kita yang mau tak mau harus ikut dalam
modernitas, terutama modernitas ekonomi. Namun betapa pun, hilangnya salah satu
kekayaan budaya itu adalah tragedi bagi suatu kelompok yang telah terbiasa
hidup dalam budaya tersebut.
Demikian
makalah kami dapat kami selaesaikan.
Kami berharap agar makalah yang kami susun ini menjadi bermanfaat bagi penulis
maupun pembaca dan menambah wawasan tentang
sistem penganggalan khususnya penanggalan prsanoto mongso.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak
Teori dan Praktik, Yogyakarta: Lazuardi, 2001
Izzuddin, Ahmad, ttt, Laporan Penelitian Individual “Fiqh Hisab
Rukyah Kejawen
Purwadi, , Sejarah Sultan
Agung, Harmoni antara Agama dengan Negara, Yogyakarta: Media Abadi2004.
Qulub, Siti Tatmainnul dkk, 2009. Makalah Pemnggalang Jawa Pranatamangsa,
Semarang, IAIN Walisongo
Wawancara dengan T. Djamaluddin, Rabu 13 Januari 2010
http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masih-penting-untuk-pertanian.html
http://bentarabudaya.com/Pranatamangsa.html
http://wikipedia.pranatamangsa.com
http://semarasanta/wordpres.com/2007/10/27/pranata-mangsa-aturan-waktu-musim-kuno
www.xentana.com/java/calendar.htm,
sutikno@yahoo.com
[4]Purwadi,
Sejarah Sultan Agung Harmoni Antara Agama Dengan Negara,(Yogyakarta ,
Media Abadi 2004) hal115
[5]http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masihpentinguntukpertania.html
Lihat N. Daldjoeni: Penanggalan Pertanian Jawa Pranatamangsa, (Yogyakarta : Proyek Javanologi,)
[7]
http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masihpentinguntukpertania.html
Lihat N. Daldjoeni: Penanggalan Pertanian Jawa Pranatamangsa, (Yogyakarta : Proyek Javanologi,)
[9] Siti
Tatmainnul Qulub Dkk, Makalah Penaggalan Jawa Pranatamangsa,IAIN
Walisongo Semarang 2009 .bandingkan dengan Ahmad Ali Azhari, Hisab Awal
Bulan, (Kediri : Ar Rizqi “Pesantren Fathul Ulum”, 2004), hal 8-9 X.lihat
juga http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masihpentinguntukpertania.html
[10]
Purwadi, Loc cit. bandingkan dengan Ahmad Izzuddin, Laporan
Penelitian Individual Fiqh Hisab Rukyah
Kejawen, 2006.
[11]http://bentarabudaya.com/Pranatamangsa.html
[12]
Purwadi, Op cit, hal 124.
[13] Loc.cit, Siti tatma’inul Qulub dkk hal 6 bandingkandengan Dedik
Wiriadiwangsa, Pranatamangsa, Masih Pentingkah ?,Dimuat pada Tabloid Sinar
Tani, 9 – 15 Maret 2005,
[14]
Ahmad Ali Azhari, Loc cit.
[16] http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masihpentinguntukpertania.html
Lihat N. Daldjoeni: Penanggalan Pertanian Jawa Pranatamangsa, (Yogyakarta : Proyek Javanologi,) hal 7-8
[17]Hasil wawancara dengan Thomas
Djamaluddin, Rabu 13 Januari 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar