Minggu, 12 Agustus 2012

Pronotomongso, Antara Kepercayaan dan Masa Kini



 Dalam perjalanan hidupnya manusia membutuhkan kalender atau penanggalan dalam mempeoleh urutan waktu yang benar. Penaggalan ini telah ada sejak dulu kala, mulai dari bentuk dan sitem yang sederhana kemudian terus berkembang menjadi lebih baik dan praktis. Meskipun demikian patokan yang digunakan tetap sama yaitu berkiblat pada peredaran matahari dan bulan.
Di Indonesia, selain mengunakan kalender Hijriyah (Kalender Islam) dan Kalender Masehi juga dikenal Penanggalan Jawa, yang digunakan khusus oleh masyarakat jawa. Penaggalan jawa ini digunakan oleh para petani tradisional khususnya di daerah jawa dalam  menentukan musim bercocok tanam dll. Sebagai petani tradisional yang tidak memiliki peralatan khusus sebagai penentu waktu, juga karena minimnya pengetahuan sehingga tak mampu dalam menciptakan suatu system penentu waktu dengan menggunakan peralatan canggih seperti sekarang. Mereka menentukan musim panen dengan memperhatikan perubahan iklim yang bergantian secara periodik[1].
Cara dan sistem itu sudah demikian lama berlaku, dan mendarahdaging dalam kehidupan petani Jawa. Bisa dikatakan, cara dan sistem mengakrabi dan menanggulangi kekuatan alam itu sudah menjadi semacam budaya.[2]
Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu :
1.   Bagaimana  sejarah penanggalan Pranatamangsa ?
2.   Bagaimana  pemikiran penaggalan Pranatamangsa?
3.   Bagaimana sistem perhitungan penanggalan Pranatamangsa?
4.   Bagaimana keterkaitan Pranatamangsa denga Astronomi?
5.   Bagaimana keakurasian kalender Pranatamangsa pada zaman sekarang?

A.   SEJARAH PENAGGALAN PRANATAMANGSA

Pranatamangsa berasal dari kata pranata yang berarti aturan dan mangsa yang berarti musim, jadi secara bahasa Pranatamangsa adalah pengaturan musim. Secara istilah Pranatmangsa adalah suatu penanggalan yang berkaitan dengan musim menurut pemahaman Suku Jawa, khususnya dari kalangan petani dan nelayan. Pemahaman yang mirip seperti ini juga dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia, seperti Suku Sunda dan Suku Bali (dikenal sebagai Kerta Masa), atau di beberapa tradisi Eropa, seperti pada Bangsa Jerman (dikenal sebagai Bauernkalendar, atau "penanggalan untuk petani")[3]. Pranatamangsa merupakan bagian dari  Petangan Jawi,  yaitu suatu penanggalan orang jawa yang berupa rangkaian dari bermacam-macam petangan seperti wuku, peringkelan, padewan, dll. Sistem penaggalan Pranatamangsa ini mengikuti penaggalan Syamsiyah (solar) sama halnya dengan kalender saka (kalender Sultan Agung ), dan Kalender Masehi. [4]
Pranatamangsa ini mempunyai seluk beluk yang tak kalah rumitnya dengan Pranatamangsa Mesir kuno, Cina, Maya dan Burma. Kata Daljoeni: "Di dalam Pranatamangsa terdapat pertalian yang mengagumkan antara aspek-aspeknya yang bersifat kosmografis, bioklimatogis yang mendasari kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat bertani di pedesaan. Sebagai keseluruhan pranatamangsa mencerminkan ontologi menurut konsepsi Jawa serta akhetip alam pikiran petani Jawa yang dilukiskan dengan berbagai lambang yang berupa watak-watak mangsa dalam peristilahan kosmologis yang mencerminkan harmoni  antara manusia, kosmos, dan realitas[5].
Penaggalan tersebut mendasarkan diri pada tahun surya dengan lama 365 hari. Meskipun Pranatamangsa sudah berlaku sejak dahulu kala milik orang jawa, namun pembakuannya baru diadakan pada waktu Sri Paku Buwana VI memerintahkan kerajaan Surakarta, yaitu pada tahun 1855[6]. Pembakuan tersebut dimaksudkan untuk sekadar menguatkan sistem penanggalan yang mengatur tata kerja kaum tani dalam mengikuti peredaran musim dari tahun ke tahun[7] .
Dalam pembakuan tersebut, ahli perbintangan kraton memang cukup berjasa. Kendati demikian itu tidak berarti bahwa mereka telah menciptakan sesuatu yang baru. Sebab sesungguhnya, penanggalan itu sudah ada dalam hidup petani Jawa turun temurun. Bahkan sebelum kedatangan orang-orang Hindu, nenek moyang kita sudah akrab dengan peredaran bintang-bintang di langit yang mendasari pengetahuan tentang perulangan musim.
 Dengan adanya Pranatamangsa, orang-orang menjadi memiliki pedoman yang jelas untuk bertani, berdagang, menjalankan pemerintahan dan keserdaduan. Salah satu contohnya adalah kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Panjang, dan Mataram Islam meraih keberhasilan dan keagungannya dengan menggunakan penanggalan ini dalam berperang dan mempertahankan diri. Dengan Pranoto- mongso, petani menjadi memiliki pegangan dalam bercocok tanam agar hasil tanaman baik[8].

B.   PEMIKIRAN PENAGGALAN PRANOTO MONGSO

Kalender Pranatamangsa dihitung berdasarkan perjalanan Matahari yang pada zaman dahulu digunakan oleh orang-orang di tanah Jawa sebagai patokan untuk mengetahui musim. Jumlah bulan pada kalender ini ada 12, yaitu :
1. Kasa                             : “Sotyo murco saking embanan” (mutiara lepas dari       pengikatnya
Musim daun-daun gugur pohon-pohon jadi gundul. Musim ini jatuh saat matahari diatas zenith u/ garis balik utara bumi. Kondisi meteorologisnya adalah sinar matahari 76%, lengas udara 60,1%, curah hujan 67,2 mm, suhu udara 27,4°C. Manusia di masa ini merasa ada sesuatu yang hilang dalam alam, walau cuacanya terang. Sotya Murca ing embanan (ratna jatuh dari tatahan) adalah watak mangsa ini.
2. Karo                              : “Bantolo Rengko” (tanah retak)
Musim tanah jadi gersang dan retak-retak. Curah hujan pada masa ini turun menjadi 32,2 mm
3. Katigo                  : “Suto manut ing bopo”
Musim pucuk tanaman menjalar pada rambatan. Gejala yang dialami adalah sumur mengering dan angin berdebu. Namun curah hujan naik pada masa ini naik menjadi 42,2 mm.
4. Kapat                  : “Waspo kumembeng jroning kalbu”
Musim sumber-sumber jadi kering.. Jatuh pada musim labuh. Pada masa ini kemarau berakhir. Kondisi meteorologisnya adalah sinar matahari 72%, lengas udara 75,5 %, curah hujan 83,3 mm, suhu udara26,7°C.
5. Kalimo                 : “Pancuran emas sumawur ing jagad”
Mulai musim hujan. Curah hujan naik pada mangsa ini naik menjadi  151,1%. Gejala pertama mangsa ini adalah turunnya hujan yang tidak begitu deras.
6. Kanem                : “Roso mulyo kasucian”
Musim pohon-pohon mulai berbuah. Mangsa ini berada pada musim udan. Curah hujan menjadi tinggi yaitu 402,2 mm
7. Kapitu                : “Wiso kenter ing maruto”
Musim bertiupnya angin yang mengandung bias (penyakit). Pada mangsa ini matahari ada di zenit garis balik selatan bumi (22 desember). Sinar matahari menjadi 67%, lengas udara 80%, curah hujan 501,4 mm, suhu udara 26,2 %. Musim ini dikenal juga sebagai musim datangnya penyakit dan alam ditandai dengan adanya banjir.
8. Kawolu                : “Anjrah jroning kayun”
Musim kucing kawin, padi mulai berubah, banyak uret. Curah hujan turun pada masa ini turun menjadi 371,8 mm
9. Kasongo               : “Wedaring wono mulyo”
Musim jangkrik, gasir, gareng poung, (banyak orang bicara berlebih-lebihan). curah hujan turun menjadi 252,5 mm
10. Kasepuluh          : “Gedong mineb jroning kalbu”
Musim binatang-binatang hamil. Sinar matahari menjadi 60%, lengas udara 74%, curah hujan 181,6 mm, suhu udara 27,8°C. Gejala yang muncul adalah awal perkembangbiakan atau masa di mana binatang bertelur dan berabak. Pada masa ini orang mudah lesu dan pusing karena sebentar lagi mau musim kemarau.
11. Dastho              : “Sotyo sinoro wedi”
Musim burung-burung menyuapi anaknya. . pada musim panen. Curah hujan menurun menjadi 129,1 mm Gejala yang kerap dialami adalah burung-burung mulai menetas, alam dalam hal ini mulai menunjukan daya ciptanya lagi. Kesuburan seakan diasah lagi, kendati kemarau sudah diambang mata
12. Sodo                 : “Tirto sah saking sasono” (air pergi dari tempatnya)
Musim dingin, orang jarang berkeringat karena teramat dingin. Jatuh pada musim terang. Curah hujan pada masa ini naik menjadi 149,2 mm. Hujan mulai sungguh habis dan kemarau mulai tiba. Masa ini juga termasuk mangsa yang panjang, yaitu selama 41 hari. [9]
Pada mulanya, Pranatamangsa hanya mempunyai 10 mongso. Sesudah mongso kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mongso yang pertama (kasa atau kartika) yakni tanggal 22 Juni. Masa menunggu itu cukup lama, sehingga akhirnya ditetapkan sebagai mongso yang kesebelas (destha atau padawana) dan mongso yang kedua belas (sadha atau asuji). Sehingga satu tahun menjadi genap 12 mongso. Hari pertama mongso kesatu dimulai pada 22 Juni.[10]
Periode-periode musim yang ditandai dengan nama-nama mangsa itu berulang secara teratur dalam setiap tahun. Petani dapat membuktikan pengulangan musim yang teratur itu dengan mengamati rasi bintang yang muncul secara teratur dan periodik pula. Misalnya, rasi bintang Lumbung (Crux) pada mangsa katelu, Banyakangkrem (scorpio) pada mangsa kalima, Waluku (Orion) pada mangsa kasapuluh, wuluh (pleyades) pada mangsa kasambilan, wulanjarngirim (Centauri) pada mangsa kawolu, bimasakti (Milkmay)) pada mangsa kapitu, dan sebagainya
Munculnya rasi bintang tertentu, disusul oleh munculnya rasi bintang tertentu lainnya adalah patokan untuk menentukan saat mulai serta saat berakhirnya masing-masing mangsa. Berbarengan dengan itu, panjang bayangan manusia pada tengah hari juga dipakai untuk menentukan panjang pendeknya suatu mangsa tertentu. Di samping itu, dalam pembagian mangsa-mangsa, petani juga memperhatikan asal-usul angin serta gerakan-gerakan angin. Sesungguhnya semuanya itu tidaklah lain daripada penyesuaian udara pada pergeseran perjalanan matahari di sepanjang tahun.[11]
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa perhitungan Pranatamangsa membawakan watak dan pengaruh. Maka kita akan menjelaskan tentang mongso tersebut. Mongso yang membawa watak bawaan atau pengaruh itu ada tiga, yaitu;
1.   Kasa (kartika), watak (pengaruhnya) : dedaunan rontok, kayu-kayu patah di atas. Saat mulai menanam palawija, belalang bertelur. Bayi yang lahir dalam mongso. Kasa ini berwatak belas kasihan.
2.   Karo (poso), watak (pengaruhnya) : tanah retak, tanaman palawija harus dicarikan air, pohon randu dan mongso tumbuh daun-daunnya. Bayi yang lahir dalam mongso itu wataknya ceroboh, kotor.
3.   Sodo (asuji), watak (pengaruhnya) : musim dingin, jarang orang berkeringat. Usai panen. Bayi yang lahir dalam masa itu wataknya cukupan.[12]
Dinamika alam ini tidak pernah membohongi petani. Suatu saat nanti, alam pasti akan memberikan berkahnya, setelah semua proses pertumbuhan dilalui. Ini tentu membuat petani mampu bertahan dalam segala kesulitannya
Selain berguna bagi petani, penanggalan ini pun bermanfaat bagi para nelayan, akan tetapi bukan memanfaatkan mangsa-mangsa seperti halnya petani, akan tetapi nelayan disini menggunakan rasi bintang. Mereka mengetahui pada bulan-bulan berapa saat yang baik melaut sehingga mereka bisa mendapatkan ikan banyak. Begitu pula sebaliknya, mereka juga mengetahui kapan waktu untuk tidak melaut karena berbahaya dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Dan pada saat-saat itulah mereka gunakan waktu untuk beraktivitas yang lain, seperti memperbaiki jaring, perahu, rumah dan dll[13].
Dari ketetapan yang mereka buat dengam memperhatikan alam ini menumbuhkan adanya suatu kepercayaan atau keyakinan akan adanya dewa poada masing-masing mangsa. Seperti pada masa kasa dewanya adalah wisnu binatangnya domba, kemudian mangsa karo dewanya adalah sambu dengan bitantang banteng, dan sebagainya.

C.   SISTEM PERHITUNGAN PENANGGALAN PRONOTO MONGSO

Jumlah bulan dalam kalender ini sama dengan jumlah bulan pada kalender Masehi maupun Hijriah yaitu terdiri dari 12 bulan. Sedangkan cara membuat dan masuknya bulan pada kalender ini, cukup dengan mengikutkannya dengan kalender Masehi pada tanggal dan bulan yang sudah ditentukan.[14]
              TABEL PRANATAMANGSA[15]

MONGSO
UMUR
(HARI)
PERMULAAN MONGSO
DEWA dan SIMBOLNYA
1.
Kaso (kartika)
41
22 Juni – 1 Agustus
Wisnu dengan simbol domba
2.
Karo (poso)
23
2 Agustus - 24 Agustus
Sambu dengan simbol  banteng
3.
Katelu
24
25 Agustus - 17 September
Rudra dengan simbol tumbuhan bertunas
4.
Kapat (sitra)
25
18 September - 12 Oktober
Yomo dengan simbol kepiting
5.
Kalima (manggala)
27
13 Oktober - 8 November
Metri dengan simbol singa
6.
Kanem (naya)
43
9 November - 21 Desember
Naya dengan simbol roro Kenya
7.
Kapitu (palguna)
43
22 Desember - 2 Februari
Shangyang dengan simbol neraca
8.
Kawolu (wasika)
26/27
3 Februari - 28 Februari
Dhurma dengan simbol kelabang
9.
Kasongo (jita)
25
1 Maret - 25 Maret
Wasan dengan simbol burung garuda
10.
Kasepuluh (srawana)
24
26 Maret - 18 April
Basuki dengan simbol kambing
11.
Dastho (pradawana)
23
19 April - 11 Mei
Prajapati dengan symbol air tumpah
12.
Sodo (asuji)
41
12 Mei - 21 Juni
Gana dengan symbol mina/ ikan

Dari tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya dapat diketahui bahwa bahwa petani membagi setahun dalam empat mangsa utama, yakni mangsa terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (86 hari), pengarep-arep (98 hari). Simetris dengan pembagian tersebut, juga ada pembagian mangsa utama seperti berikut ini: mangsa katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94 hari), mareng (88 hari). Lalu dengan peletakan yang demikian simetris, demikianlah tempat dua belas mangsa ditaruh dalam siklus tahunan yang selalu berulang[16]
  1. Satu tahun yang panjangnya 365 hari dibagi menjadi 2 tengah tahunan. Masing-masing tengah tahunan dipecah lagi atas 6 mangsa, yang panjang harinya berturut-turut adalah:41-23-24-25-27-43.
  2. Dalam pada itu, mangsa ke-I (kasa) dimulai pada saat matahari ada di zenith untuk garis balik Utara Bumi (tropic of Cancer), yakni tanggal 22 Juni. Mangsa ke VII (kapitu) dimulai pada tanggal 22 Desember ketika matahari ada di zenith garis balik Selantan Bumi (tropic of Capricorn).
  3. Kedua periode tengah tahunan itu saling bergandengan pada mangsa yang paling panjang, yakni mangsa terang (mangsa sadha dan kasa) yang lamanya 82 hari dan mangsa udan (mangsa kanem dan mangsa kapitu) yang lamanya 86 hari.
  4. Mangsa terang diapit oleh dua mangsa yang kontras, yakni mangsa panen (mangsa dhestha) dan mangsa paceklik (mangsa karo). Mangsa udan diapit oleh dua mangsa dengan letak matahari di zenith untuk pulau Jawa, yakni mangsa kalima dan mangsa kawolu.
  5. Mangsa pangarep-arep (harapan) yang mengandung musim berbiak bagi berbagai hewan serta tanaman makanan pokok, berhadapan dengan mangsa semplah (putus asa) yang masing-masing meliputi  mangsa, yakni kawolu, kasanga, kasapuluh berhadapan dengan mangsa katelu, kapapat dan kalima.

D.   KETERKAITAN KALENDER PRANATAMANGSA DENGAN ASTRONOMI

Jika ditelisik maka akan jelas ditemukan adanya keterkaitan antara astronomi dan penaggalan Pranatamangsa. Hal ini jelas karena dalam penetuan tiap-tiap mangsa atau musim tak luput dari perhatiannnya terhadap gerak relatif matahari. Khususnya jika dikatkan dengan gerak rasi bintang pada malam hari. Thomas Djamaludin mengatakan bahwa rasi bintang berubah sesuai dengan perubahan posisi mataharri relatif terhadap matahari yang terkait dengan musim. Contohnya musim rendheng (musim hujan) ditandai dengan terlihatnya rasi orion (waluku). Hal ini digunakan para petani sebagai acuan uantuk mulai menanam padi, selain itu juga para nelayan yang akan berlayar[17].
Perjalanan siklus pranatamangsa yang berpacu pada gerak matahari sama halnya dengan kalende masehi. Yaitu berawal saat matahri berada dditas zenith di belahan bumu bagian utara pada tanggal 22 Juni. Kemudian berputarr dan memebentuk satu garislurus yang memebagi musim ini secara global menjadi dua bagian. Tepatnya 22 Desember ketika matahari berada tepat diatas zenith pada belahan bumi bagian selatan.

E.   KEAKURASIAN PENAGGALAN PRANATAMANGSA PADA ZAMAN SEKARANG  

Dari paparan di atas tampak, bahwa pranatamangsa menyimpan pengalaman manusia dalam bergaul dengan tantangan dan berkah alam. Pranatamangsa juga merupakan abstraksi dan refleksi manusia tentang pengalaman hidupnya dengan alam. Dengan refleksinya itu, manusia belajar bagaimana selanjutnya menyiasati sikap dan tindakannya terhadap alam.
Dalam pranatamangsa juga amat tampak, betapa petani Jawa sangat akrab dengan alam. Bagi petani Jawa, alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan, melainkan teman yang dicintai. Karena keakrabannya itu, petani Jawa mengenal segala watak dan perilaku alam. Watak dan perilaku tersebut diterima dan dirumuskan dengan bahasa yang manusiawi.
Keteraturan yang ada dalan penanggalan Pranatamangsa memang pas dan sesuai dengan yang ditanggalkan. Misalnya, pada mangsa kawolu, yang dimulai sekitar awal Februari sampai awal Maret. Saat ini ditandai dengan guntur yang bersahut-sahutan. Suasana terasa sedih, walau alam sedang diguyur kesegaran hujan. Pada saat ini manusia dapat berjaga-jaga ketika akan menghadapi musim ini.Karena itu mangsa ini juga disebut mangsa paceklik rendhengan. Wataknya "anjrah jroning kayun" juga disebut pula cantika, yang artinya terhenti segala pikiran, perasaan dan kehendak.[18].
Kemudian datang Mangsa kawolu, berserta mangsa kasanga dan kasapuluh itu, panjangnya kurang lebih 75 hari, mulai 3 Februari sampai 19 April. Mangsa ini juga disebut mangsa pangarep-arep, mangsa harapan. Yaitu untuk panen karena padi telah menguning. Kemudian disusul masa penantian datangnya mangsa dhesta, yaitu mangsa panen. Pranatamangsa memberi petani pegangan, bagaimana mereka mengatur ekonominya dengan harapan dan keputus asan seperti datangnya musim paceklik dan musim subur.
Akan tetapi melihat kondisi alam sekarang yang semakin panas, karena adanya global warming maka di masa depan, budaya pranatamangsa pasti merupakan salah satu titik atau lokasi dalam peta bahaya pemanasan global di atas. Jelasnya, pemanasan global pasti meniadakan budaya pranatamangsa itu. Apalagi, tak usah kita menunggu datangnya bencana dahsyat itu, sekarang pun budaya pranatamangsa hampir tak mempunyai jejak dan bekasnya lagi dalam kehidupan petani Jawa. Seperti kejadian alam untuk musim hujan pada bulan Desembaer-Januari-Februari itu bukan musim hujan yang selalu tetap dan bersifat statis. Kalau kita lihat kejadian hujan di negara ini, maka kita akan merasa bahwa seolah-olah hujan itu turun dengan sendirinya dan susah untuk diprediksi musimnya. Padahal dulunya, musim hujan itu pada bulan Oktober sampai bulan Maret. Sedangkan musim kemarau itu dimulai dari bulan April sampai bulan September.
Jadi menurut penulis, budaya Pranatamangsa tdaklah relevan lagi. . Nenek moyang kita mengambil rumus Pranatamangsa dengan cara melihat kebiasaan kejadian-kejadian alam pada masa itu. Dan untuk saat ini kejadian tersebut sudah tidak beraturan, dan sulit untuk dirumuskan kapan kejadian tersebut akan terjadi.  Memang karena modernitas dengan segala akibatnya, baik yang positif maupun yang negatif, budaya pranatamangsa ini sedang dalam keadaan pudar. Apalagi nanti, jika perubahan iklim betul-betul terjadi, bisa jadi budaya pranatamangsa akan sirna sama sekali. Itu berarti, modernitas yang ikut menyebabkan terjadinya perubahan iklim, melenyapkan suatu kekayaan budaya yang telah demikian lama menghidupi dan menuntun petani Jawa dalam mengolah tanah dan pertaniannya.
Mungkin hal tersebut merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan bagi kita yang mau tak mau harus ikut dalam modernitas, terutama modernitas ekonomi. Namun betapa pun, hilangnya salah satu kekayaan budaya itu adalah tragedi bagi suatu kelompok yang telah terbiasa hidup dalam budaya tersebut.

 Demikian makalah kami dapat  kami selaesaikan. Kami berharap agar makalah yang kami susun ini menjadi bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan menambah wawasan tentang  sistem penganggalan khususnya penanggalan prsanoto mongso.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktik, Yogyakarta: Lazuardi, 2001
Izzuddin, Ahmad, ttt, Laporan Penelitian Individual “Fiqh Hisab Rukyah Kejawen
Purwadi, , Sejarah Sultan Agung, Harmoni antara Agama dengan Negara, Yogyakarta: Media Abadi2004.
Qulub, Siti Tatmainnul dkk, 2009. Makalah Pemnggalang Jawa Pranatamangsa, Semarang, IAIN Walisongo
Wawancara dengan T. Djamaluddin, Rabu 13 Januari 2010
http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masih-penting-untuk-pertanian.html
http://bentarabudaya.com/Pranatamangsa.html
http://wikipedia.pranatamangsa.com
http://semarasanta/wordpres.com/2007/10/27/pranata-mangsa-aturan-waktu-musim-kuno





                [1] http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masihpentinguntukpertania.html
[2]http://bentarabudaya.com/Pranatamangsa.html
                [3]http://wikipedia.pranatamangsa.com
[4]Purwadi, Sejarah Sultan Agung Harmoni Antara Agama Dengan Negara,(Yogyakarta, Media Abadi 2004) hal115
[5]http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masihpentinguntukpertania.html Lihat N. Daldjoeni: Penanggalan Pertanian Jawa Pranatamangsa, (Yogyakarta: Proyek Javanologi,)
[6] Ibid, Purwadi hal 117
[7] http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masihpentinguntukpertania.html Lihat N. Daldjoeni: Penanggalan Pertanian Jawa Pranatamangsa, (Yogyakarta: Proyek Javanologi,)
[8] http://semarasanta.wordpress.com/2007/10/27/pranata-mangsa-aturan-waktu-musim-kuno/     
[9] Siti Tatmainnul Qulub Dkk, Makalah Penaggalan Jawa Pranatamangsa,IAIN Walisongo Semarang 2009 .bandingkan dengan Ahmad Ali Azhari, Hisab Awal Bulan, (Kediri : Ar Rizqi “Pesantren Fathul Ulum”, 2004), hal 8-9 X.lihat juga http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masihpentinguntukpertania.html
[10] Purwadi, Loc cit. bandingkan dengan Ahmad Izzuddin, Laporan Penelitian Individual  Fiqh Hisab Rukyah Kejawen, 2006.
[11]http://bentarabudaya.com/Pranatamangsa.html
[12] Purwadi, Op cit, hal 124.
[13] Loc.cit, Siti tatma’inul Qulub dkk hal 6 bandingkandengan Dedik Wiriadiwangsa, Pranatamangsa, Masih Pentingkah ?,Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 9 – 15 Maret 2005,
[14] Ahmad Ali Azhari, Loc cit.
[15]Op.cit Ahmad Izzuddin hal 25
[16] http://wibiaksa.blogspot.com/2009/05/pranatamangsa-masihpentinguntukpertania.html Lihat N. Daldjoeni: Penanggalan Pertanian Jawa Pranatamangsa, (Yogyakarta: Proyek Javanologi,) hal 7-8

[17]Hasil wawancara dengan Thomas Djamaluddin, Rabu 13 Januari  2010.
[18] http://bentarabudaya.com/Pranatamangsa.html.diambil dari Daldjoeni: Ibid. hlm. 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar