Manusia adalah makhluk yang paling
sempurna, seperti dikatakan Ibn Khaldun[1]
disamping dikaruniai panca indera yang lengkap manusia dilengkapi pula dengan akal fikiran dan hati
nurani. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, berdaya guna dan dapat
bekerja-sama secara harmonis. Dan untuk menghasilkan kondisi yang demikian ada
tiga ilmu yang berperan penting. Pertama, fikih berperan dalam membersihkan
dan menyehatkan panca indera dan anggota tubuh (bersuci). Karena fikih banyak
berurusan dengan dimensi eksoterik[2]
dari manusia. Kedua, filsafat yang berperan menggerakkan, menyehatkan
dan meluruskan akal fikiran. Karena filsafat banyak berurusan dengan dimensi
metafisik dari menusia. Ketiga, tasawuf yang berperan dalam membersihkan
sanubari. Karenanya tasawuf banyak berurusan dengan dimensi esotik[3]
dari manusia.
Maka dari itu dalam makalah ini akan
dibahas tentang hal-hal yang dapat membawa seseorang ke tingkat penyucian jiwa
(tasawuf). Diawali dengan taubat, kemudian sifat zuhud serta sifat wara’.
Sudah menjadi tabiatnya, manusia
tempat salah dan lupa, namun sebaik-baik manusia adalah mereka yang mau
bertaubat. Manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan
dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika
dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Alloh dengan sebenar-benar
taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang diiringi niat
hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah agar taubat seorang hamba
itu diterima?
1.
TAUBAT
Taubat secara etimologi berarti kembali
atau meminta ampun. Secara terminologi al-Qusaery mendefinisikan taubat adalah kembali dari
sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju hal-hal yang dipuji syara’, menyesal
termasuk bagian dari taubat[4].
Sedangkan Qomar Kailany memberikan pengertian bahwa taubat adalah rasa
penyesalan yang sungguh-sungguh dan mendalam disertai permohonan ampun serta
meningglkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa[5].
Pada dasarnya tobat atau taubat
merupakan ungkapan yang terdiri dari suatu pengertian yang terpadu dan tersusun
dari tiga unsur secara berurutan, yaitu : ilmu, kondisi (keadaan) dan
perbuatan.[6]
Ilmu adalah pengetahuan tentang seberapa besar bahaya yang diakibatkan dosa dan
tentang posisi dosa tersebut sebagai penghalang antara hamba dengan setiap
objek yang dicintai. Jika mendapati kesadaran semacam ini, maka akan muncul
darinya sebuah suasana hati, dimana akan timbul perasaan sedih akibat takut
dibenci oleh Allah. Inilah yang kemudian disebut penyesalan. Jika perasaan
menyesal ini dominan maka tentu akan membangkitkan keinginan untuk bertaubat
dan memeperbaiki kesalahan masa lalu. Dengan kata lain, taubat merupakan upaya
untuk meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak melakukannya
kembali di masa mendatang[7].
Sebagaimana sabda Nabi SAW.
الندم
توبة
“Penyesalan adalah taubat”[8]
Kewajiban taubat dinyatakan secara
tegas di dalam berbagai ayat dan hadis. Allah berfirman :
4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqç/qè? n<Î) «!$# Zpt/öqs? %·nqÝÁ¯R
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya)”(Q.S.
at-Tahrim 8)\
Taubat yang semurni-murninya (nasuha) yakni semata-mata
karena Allah, terbebas dari bebagai kotoran. Para Ulama’ sepakat bahwa hukum
bertaubat adalah wajib. Karena meninggalkan tindakan maksiat itu hukumnya wajib
dan berlaku untuk seterusnya. Begitu pula dengan mentaati Allah ta’ala. Dalam
firman-Nya disebutkan :
4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd ÇÌÊÈ
" dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung". (Q.S
an-Nur 31)
Maka jelas bahwa taubat adalah suatu
kewajiban bagi setiap orang. Karena tiada manusia yang dapat luput dari
perbuatan dosa. Baik menggunakan anggota tubuh maupun hati. Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa
kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari
ampunan Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia. Bahkan Nabi
Muhammad telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang berbunyi: "Setiap
anak Adam pernah berbuat kesalahan/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa
adalah mereka yang bertaubat (dari kesalahan tersebut)."
Tingkatan Taubat[9]
Orang-orang yang bertaubat kecuali bebagai
ketergelinciran memiliki empat tingkatan. Yaitu :
1. Tingkatan pertama. Orang yang
bermaksiat yang melakukan taubat dan istiqomah di atas taubat hingga akhir
kehidupannya, lalu menyusul kekurangannya dan tidak berkeinginan mengulangi
dosa-dosanya, ketegelinciran yang pada umumnya tidak bisa dihindari manusia
yang tidak berada pada tingkatan kenabian. Taubat ini disebt taubatan Nasuha. Sedangkan jiwa yang
tenang ini disebut an-Nafs
al-Muthmainnah, yang kembali pada Tuhannya dengan penuh ridha dan diridhai.
Sabda nabi :
سبق المفردون المستهتزون
بذكرالله تعالى: وضع الذكرعنهم أوزارهم
فوردوا القيا مة خفا فا
“ Telah
mendahului orang-orang yang menyendiri, yang sangat gemar berdzikir kepada
Allah, dzikir itu telah menyingkirkan beban-beban berat mereka, lalu mereka
datang pada hari kiamat dalam keadaan ringan
2. Tingkatan Kedua, orang
bertaubat yang menempuh jalan istiqomah dalam induk-induk ketaatan meninggalkan
semua dosa besar, tetapi tidak dapat terlepas dari dosa-dosa yang membelitnya.
Ia tidak sengaja melakukan dosa tersebut, tetapi tergoda oleh dosa-dosa itu
ditengah gejolak keadaanya. Ia tidak pernah bertekad melakukannya ia mencela
dirinya, menyesali dan memperbaharui tekadnya untuk berjuang menghindari
sebab-sebab yang mengakibatkannya melakukan dosa-dosa tersebut. Nafsu ini
disebut sebagai an-Nafs al-Lawwamah, karena pemilik nafsu ini mencela berbagai
keadaan tercela yang dilakukannya bukan karena sengaja. Tingkatan ini merupakan
keadaan umum dari orang-orang yang bertaubat.
3. Tingkatan Ketiga, bertaubat
dan bertahan di atas istiqomah beberapa saat kemudian dikalahkan oleh syahwat
dalam sebagian dosa sehingga dia melakukan dosa itu secara sengaja dan dengan
syahwat, karena ketidakmampuannya mengalahkan syahwat. Meskipun demikian, dia
tetap tekun melakukan berbagai ketaatan dan meninggalkan sejumlah dosa
sekalipun didukung oleh kemampuannya untuk melakukan syahwat. Ia melakukan
sebagian dosa itu hanya karena dikalahkan satu atau dua syahwat, tetapi ia
tetap berkeinginan mendapatkan karunia Allah untuk bisa mengalahkan syahwatnya
dan menghentikan keburukannya. Ia terus berusaha agar bisa mengalahkan
nafsunya, tetapi karena nafsunya selalu menggoda dan mengajaknya menunda-nunda
taubat. Nafsu ini yang disebut an-Nafs
al-Musawwilah (nafsu yang selalu menggoda). Sedangkan orangnya termasuk
orang-orang yang disebut Allah dengan firman-Nya Q.S at-Taubah : 102 :
tbrãyz#uäur (#qèùutIôã$# öNÍkÍ5qçRäÎ/ (#qäÜn=yz WxyJtã $[sÎ=»|¹ tyz#uäur $·¤Íhy Ó|¤tã ª!$# br& z>qçGt öNÍkön=tã 4
¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÉËÈ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang
mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan
pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Q.S. at-Taubah : 102)
4. Tingkatan keempat, bertaubat
dan berlangsung istiqomah barang sesaat kemudian kembali lagi melakukan dosa
atau banyak dosa tanpa memiliki hasrat uantuk bertaubat, dan tanpa menyesali
perbuatannya, bahkan tenggelam di dalam dosa seperti orang lalai yang
mempertutkan syahwatnya. Orang ini termasuk golongan orang yang memperturutkan
syahwatnya. Jiwa ini disebut an-Nafs al-
ammarah bis-suu’ (nafsu yang senantiasa memerintahkan kejahatan), yang lari
dari kebaikan.
Di bulan pengampunan, Ramadhan yang "Syahrul
Maghfirah" ini adalah saat yang tepat untuk kita bertaubat. Bagi yang
sudah bertaubat mari memperbarui taubatnya dan yang belum taubat mari bergegas
kepada ampunan Allah. 10 hari kedua bulan Ramadhan merupakan masa maghfirah
(ampunan) sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat Abu Haurairah "Ramadhan,
awalnya Rahmah, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya dibebaskan dari api
neraka" [10]
2.
WARA’
Di antara sifat terpuji yang dianjurkan dan
diperintahkan oleh syara’adalah bersikap wara’. Wara secara etimologi berasal dari kata:وَرِعَ , يَرِع yang di ambil dari ( ورع ) yang bermakna 'menahan'
dan 'tergenggam'. Ibnu Faris berkata: "Wara bermakna juga: العفة (menjaga diri) yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak
selayaknya”. Ibu Manzhur berkata: الوَرَع (wara) artinya: merasa risih
(jawa=pekewuh). Dan الوَرِع
(dengan mengkasrohkan huruf ro')
artinya orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkat : “Wara’ adalah menahan diri dari perkara yang terkadang bias memudharatkan,
termasuk di dalam perkara ini adalah perkara-perkara yang diharamkan dan yang
syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan orang yang menjaga perkara yang
syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan orang yang
terjebak ke dalam perkara yang syubhat maka dia telah terjatuh pada perkara
yang diharamkan, sama seperti seorang penggembala yang menggembalakan
gembalaannya disekitar perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya”.[11]
Dalam mengartikan
makna wara’ ini ulama’ berbeda dalam ungkapan dengan berbagai ungkapan akan
tetapi sepakat dalm makna. Berikut beberapa pendat ulama’ tentang wara’ :
Ibnu Umar r.a berkata: "Tidaklah seorang hamba
mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya.” Ibnu Taimiyah berkata[12]: "Adapun wara, maknanya: Menahan diri dari
apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan
samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh
siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan
agamanya."
Ibrohim bin Adham berkata: "Wara adalah
meninggalkan setiap perkara samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu
adalah meninggalkan hal yang berlebihan.” Syekh
Ibnu Utsaimin berkata, “Wara adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, hal
itu terwujud dengan meninggalkan segala sesuatuyang hukumnya belum jelas dan
belum jelas pula hakekatnya.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa wara’
adalah , sikap takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang
boleh, sebagai sikap kehati-hatian[13].
Seseorang dikatakan bersifat wara atau takwa karena didapati adanya aksi
penolakan dan menahan diri dari apa yang dilarang (bukan karena ketidakadaan
apa yang dilarang). Ciri mendasar pada seseorang yang
bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata
ada keraguan atau syubhat
Ibnu al-Qoyyim berkata: "Nabi telah
merangkum pengertian wara dalam satu kalimat:
)) مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا
لاَ يَعْنِيْهِ ((
"Dari
baiknya keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang bukan urusannya
(dikuasainya)." [14]
Mencakup 'meninggalkan apa-apa yang bukan urusannya':
baik berupa pembicaraan, pandangan, pendengaran, jamahan, langkah, fikiran dan
segala aktifitas lahir maupun batin. Kalimat Nabi di atas gamblang dan simpel
memberikan pengertian sifat wara." [15]Allah
SWT berfirman:
ولاَ يقف مَا ليْس لكَ به علم إن السمع والبصر والفؤادَ ﻛﻞ أولئِكَ ﻛﺎَنَ
عَنْهُ
مَسْؤُولاً
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isro’: 36).”
Allah SWT berfirman:
فعلم خائنة الأقﻴﻦ وما ﺗﺨﻔِﻲ الَصُّدُورُ
“Dia
mengetahui (pandangan) mata yang khianat) dan apa yang disembunyikan oleh hati.
(QS. Gafir: 19)”
Di antara tanda-tanda sifat wara'
adalah[16]:
a.
Sangat
berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
b.
Membuat pembatas
di antaranya dan yang dilarang.
c.
Menjauhi semua
yang diragukan.
d.
Tidak berlebihan
dalam persoalan yang boleh.
e.
Tidak memberikan
fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
f.
Meninggalkan
perkara yang tidak berguna
Dalil-Dalil
Al-Qura'an dan Sunnah Atas Pensyari'atan Wara
Ibnu al-Qoyyim -semoga Allah merahmatinya- berkata [17]:
"Allah I berfirman:
قال الله تعالى : $pkr'¯»t ã@ß9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh©Ü9$# (#qè=uHùå$#ur $·sÎ=»|¹ ( ÎoTÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×LìÎ=tæ (المؤمنون : 51)
"Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya aku Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS.al-Mu'minun: 51)
Dan
firman-Nya:
قال الله تعالى : y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù
(المدثر: 4)
"Dan pakaianmu
bersihkanlah" (QS.al-Mudatsir: 4)
Qotadah dan Mujahid (ulama tabi'in) menafsirkan:
"Bersihkanlah jiwamu dari dosa. Jiwa diibaratkan dengan pakaian."
Demikian pula penafsiran Ibrahim an-Nakha'i, ad-Dohhak,
as-Sya'bi, as-Zuhri dan peneliti dari para ahli tafsir. Ibnu Abbas menafsirkan:
"Janganlah engkau mengenakannya untuk maksiat ataupun khianat."Ubay
bin Ka'ab menafsirkan:"Janganlah engkau mengenakannya untuk khianat,
kezaliman dan dosa. Tetapi kenakanlah sementara engkau dalam keadaan berbakti
dan suci.Ad-Dohhak menafsirkan: "Perbaikilah amalmu!"
Said bin Jubair menafsirkan: "Bersihkan hati dan
tempat tinggalmu!"
Al-Hasan dan al-Qurazi menafsirkan: "Perbaikilah
moralmu!"
Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid menafsrikan: "(Ayat
tersebut adalah) perintah membersihkan pakaian dari najis yang shalat tidak sah
karena keberadaannya. Sebab orang-orang musyrik dulu tidak menjaga kesucian badan
dan pakaian mereka."Towus (ulama Tabi'in) menafsrikan: "Pendekkanlah
pakaianmu, kerena memendekkan pakaian adalah (menjaga) kesuciannya."
Penafsiran yang pertama adalah tafsir yang paling tepat.
Tentu saja membersihkan pakaian dari najis dan memendekannya merupakan upaya
(menjaga) kesucian yang memang diperintahkan dalam menyempurnakan amal dan
akhlak (moral), karena najis lahiriah akan mewariskan najis batiniah. Oleh
karena itu orang yang menghadap Allah U diperintahkan untuk membersihkan dan menjauhi najis.[18]
Maksud dari pemaparan di atas adalah: bahwa sifat wara
dapat membersihkan kotoran hati sebagaimana air yang membersihkan pakaian dari
kotoran dan najis-najis yang ada padanya. Ada relasi antara pakaian dan hati,
baik lahir maupun batin. Karena itu, pakaian yang terlihat dalam mimpi
(tafsirannya) menggambarkan hati dan keadaan orang tersebut. Keduanya saling
mempengaruhi. Itulah sebabnya dilarang mengenakan sutra, emas dan kulit siba'
(binatang buas) karena akan mempengaruhi hati dari style penghambaan dan
ketundukan. Pengaruh hati dan jiwa pada pakaian adalah perkara yang tidak
kasat, yang hanya diketahui oleh pemilik bashiroh (pirasat), yang dapat
dilihat dari nilai kebersihan, kotor, dan baunya. Sampai-sampai pakaian orang
yang taat dapat dibedakan dengan pakain pelaku dosa, tanpa disadari oleh yang
mengenakannya."
ِيْنِكُمْ الوَرَعُ
"Keutamaan
ilmu lebih baik dibandingkan keutamaan ibadah. Dan kebaikan agamamu adalah
wara." [19]
Sesunguhnya wara memiliki penerapan yang beraneka macam.
Berbeda antara satu dengan yang lain, sesuai dengan anggota tubuh yang
digunakan dalam interaksi duniawi dan sosial, seiring keinginan-keinginan yang
saling berbenturan dan berbeda kemaslahatan.
Telah disebutkan sebelumnya tentang perkataan syekh
Utsaimin bahwa kesamaran tersebut bisa terjadi dalam beberapa hal, yaitu
kesamaran dalam hukum, dan seorang mu’min tidak mengetahui apakah dia termasuk
di dalam perkara halal dengan jelas atau di dalam perkara yang haram dengan
jelas. Perkara ini memiliki contoh yang sangat banyak, sebab perbedaannya
didasarkan pada perbedaan pemahaman para ulama, di antara mereka ada yang
menganggap halal dan sebagian yang lainberkata haram, hal ini terlihat dalam
sebagian aqad transaksi dan cara jualbeli yang banyak berkembang di masa
sekarang ini”.[20]
Kedua: Samar dalam keadaan. Perkara ini tampak pada hokum tentang daging
ayam yang diimpor dari luar, sebagian ulama ada yangmengatakan bahwa daging itu
halal sebab termasuk dalam kategorimakanan ahli kitab. Allah SWT berfirman:“Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, (QS.
Al-Maidah: 5)”
Dan sungguh telah jelas terbukti bagi
sebagian penuntut ilmu bahwabanyak daging ayam impor disembelih dengan
menggunakan strum listrikatau cara lain yang tidak sesuai dengan cara penyembelihan
yang syar’i. Maka perkara ini termasuk perkara yang samar dari sisi keadaan
sehingga orang yang wara’ seharusnya meninggalkannya.
Dan hal yang perlu
diingatkan bagi orang yang meninggalkan dan menjauhi perkara syubhat bahwa
Allah SWT akan memberikan ganti baginya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa
yang telah terlewat.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Abi
Qotadah danAbi Dahma’ bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnyatidaklah engkau meninggalkan sesuatu
karena Allah SWT kecuali Dia akanmemberikan ganti bagimu dengan yang lebih baik
darinya”.[21]
3.
ZUHUD
Konsep Zuhud
Hakikat zuhud adalah tidak menyukai
sesuatu dan mengharapkan ganti pada sesuatu yang lain[22].
Jadi orang yang meninggalkan sia-sia dunia untuk mengharapakan keutamaan
akhirat maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang zuhud.
Ciri-ciri sifat zuhud yaitu[23]
:
Pertama,tidaks senang apabila memiliki sesuatu dan tidak
bersedih ketika kehilangan sesuatu. (zuhud dalam harta) Firman Allah ;
“...... supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu....” (Q.S al-Hadid : 23)
Kedua, menganggap sama antara pujian dan celaan.(zuhud
dalam kedudukan)
Ketiga, hantinya dipenuhi kecintaan kepada Allah, meskipun
tidak dapat lebih daripada kecintaan kepada dunia dan Allah.
Jadi secara ringkas ciri-ciri sifat
zuhud adalah dalam kondisi bagaimanapun baik miskin, kaya, mulia, terhina
pujian ataupun celaan ia tetap dalam kondisi yang sama, hal ini karean
keakrabannya dengan Allah.
Zuhud memiliki tiga tingkatan, yaitu [24]
Pertama, orang yang memaksakan diri menjauhi dunia.
Meskipun sangat berat karena ia memerangi hal-hal yang disuakainya, tapi ia
rela demi tingkatan zuhud yang sesungguuhnya.
Kedua, orang yang mejauhi dunia secara sukarela, karena
ia menganggapnya sangat kecil, meski dalam hati ia masih menginginkannya.
Ketiga, adalah tingkatan tertinggi, dimana dalam tingkatan
ini orang menjauhi dunia dengan sukarela dan tidak merasakan sifat zuhudnya.
Karena ia tidak menganggap ia melakukan sesuatu.
Zuhud dan Sosialisme
Zuhud merupakan antitesa dari
kehidupan glamour, di mana manusia menjadi satu individu yang menampilkan
gemerlap kekayaan yang dimilikinya sebagai alat untuk menunjukan penguasaan
dirinya atas harta-harta tersebut. Aplikasi dari zuhud
adalah negasi dari setiap aplikasi tindakan dari cerminan kehidupan glamour
seseorang. Zuhud merupakan satu konsep kehidupan yang berhubungan dengan
kendali diri. Sehingga ia bekerja dalam tataran hati yang menelorkan hasil
niat. Dari niat tersebut kemudian diaplikasikan dalam tindakan fisik. Karena
zuhud berkutat pada masalah kendali diri, maka ia juga menghadapi dilema yang
sama dengan konsep-konsep kendali diri lainnya dalam ajaran islam. Seperti
sabar.
Islam mengajarkan untuk sabar sebagai kendali diri
seseorang ketika menghadapi masalah. Aplikasi tindakan ini tentu saja
berbeda-beda tergantung kondisi setiap individu yang dihadapi. Sehingga
penafsiran-penafisran dari individu lainnya terhadap tindakan itu dapat saja
berbeda dari apa yang sebenarnya menjadi landasan, yaitu kendali diri
kesabaran.
Ranah kerja dari konsep zuhud yang
lebih identik pada permasalahan individu atau pribadi ini seakan menciptakan
kesan bahwa zuhud merupakan permasalahan setiap individu perorangan saja. Namun
sebenarnya zuhud adalah konsep kehidupan bermasyarakat yang sangat efektif
dalam menghilangkan penguasaan dan eksploitasi antar kelas dalam tatanan sosial
suatu masyarakat, seperti yang telah terjadi saat ini.
Walaupun ini menyangkut kendali diri
yang bekerja dalam ranah kejiwaan seseorang, namun parameter dari kehidupan
zuhud bisa kita lihat dari respon seseorang dalam penggunaan hak miliknya yang
terkait dengan kehidupan dan hak milik orang lain. Pernyataan
ini mengisyaratkan bahwa zuhud tidak hanya sekedar berbicara tentang pola hidup
yang sederhana dalam artian hidup serba kekurangan, dan tidak mempunyai cara
produksi dan hasil produksi yang progresif. Satu pola hidup yang saat ini
dinyatakan sebagai jalan yang lebih dekat dengan Tuhan. Namun zuhud harus
dimaknai sebagai satu pola hidup seseorang yang tetap mempunyai cara produksi
dan hasil produksi yang progresif namun dia memahami bagaimana ia harus
berproduksi dengan alat produksi tersebut serta menggunakan hasil produksi
tersebut terkait dengan kehidupannya sebagai makhluk sosial; sebagai bagian
dari masyarakat.
Berbicara tentang manusia sebagai makhluk sosial akan
membawa kita pada pemaknaan dimana manusia hidup dan berkembang tanpa bisa
lepas dari interkaisnya dengan manusia lainnya di komunitas ia berada. Satu
masyarakat sendiri pada awalnya adalah sebuah komunal yang bekerja atas dasar
kerja sama. Namun seiring dengan kompleksitas permasalahan dan kebutuhan
manusia yang semakin banyak, maka kemudian sistem komunal ini diganti menjadi
satu bentuk masyarakat yang terbentuk atas dasar stratifikasi menurut
kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat tersebut. Contohnya kebutuhan masyarakat
terhadap kesehatan maka akan menimbulkan golongan yang ahli dalam bidang kesehatan,
begitu juga dalam masalah politik, militer, pendidikan, perdagangan dan
lain-lain.
Keadaan ini masih
merupakan satu tatanan yang mesti terjadi dalam alur kehidupan manusia.
Permasalahan terjadi ketika golongan-golongan tersebut mencoba menutup atau mempersulit
akses terhadap orang lain di luar mereka. Sehingga disini terdapat privatisasi
alat produksi yang dimiliki setiap golongan tersebut. Alat produksi yang dapat
memberikan hasil bagi mereka kemudian mereka kuasai dan bagi orang-orang diluar
golongan hanya bisa mendapatkan jasa dengan kompensasi yang setimpal. Kondisi
inilah yang kemudian menciptakan kelas dalam suatu masyarakat, dimana kelas
yang lebih tinggi menindas kelas di bawahnya.
Kerja konsep zuhud dalam kondisi
masyarakat ini adalah bagaimana setiap individu yang memiliki suatu alat
produksi tidak memprivatisasi alat produksi yang dimilkinya namun ditujukan
untuk kehidupan bersama bagi masyarakat tersebut. Orang
yang kaya tidak menggunakan kekayaannya sebagai jurang pemisah (alat pencipta
kelas) dengan orang lain yang tidak kaya lewat usaha-usaha agar orang lain
tidak bisa berusaha untuk menjadi sama dengan dia, namun ia menjadi pelopor
bagi orang lain agar bisa menjadi sama seperti dia.
Jurang pemisah yang terbentuk antar kelas di masyarakat akan
menciptakan budaya eksklusifisme yang diaplikasikan dalam simbolisme-simbolisme
pencitraan keunggulan kelas. Seorang ilmuwan yang tidak zuhud akan menunjukan
simbolisme pencitraan intelektualnya dengan topik-topik pembicaraan yang tidak
relevan dengan kesadaran masyarakat di luar kelasnya. Pebisnis yang tidak zuhud
akan menunjukan simbolisme pencitraan kekayaannya dengan pola kerja yang tidak
bersahabat dengan rakyat. Demikian selanjutnya.
Dalam islam, simbolisasi pencitraan batas kelas adalah
bentuk dari sifat ujub yang sayangnya telah di maknai secara ekstrem dengan
memutus rantai kehidupan manusia sendiri. Sehingga yang terjadi adalah
kesalahan sasaran yang seharusnya dituju. Manusia pada dasarnya adalah makhluk
yang berusaha untuk kebutuhannya. Berarti juga ia makhluk yang meghendaki
beberapa hal. Terserah mau kehendak terhadap kebutuhan materialis atau psikis.
Untuk mendapatkannya ia harus tahu caranya, cara inilah yang dinamakan alat
produksi. Kemudian hasil yang ia dapat, adalah hasil produksi.
Implikasi dari beda cara produksi dan beda hasil
produksi tentu saja dapat menjadi beda kondisi antar satu individu dengan
lainnya. Target yang dituju oleh konsep zuhud adalah memutus rantai cara
berproduksi dan hasil produksi dengan batasan-batasan yang ketat. Beberapa
konsep hidup lain juga memiliki aplikasi yang sama dengan kasus ini. Namun
letak permasalahan sebenarnya adalah pada control social dalam aplikasi
pelaksanaan cara produksi dan penggunaan hasil produksi dalam tataran social.
Titik focus yang harus diperhatikan adalah bagaimana perbedaan yang terjadi
dalam cara produksi dan hasil produksi tidak sampai menjadi kelas-kelas yang
menindas kelas di bawahnya dalam suatu tatanan social.
DAFTAR BACAAN
al- Khazandar, Mahmud Muhammad, Shifatul
wara’ (trj), Eko Haryanto Abu Zyad, Sifat Wara’, Maktabah dakwah dan
bimbingan Jaliyat Rabwah, 2008.
Al- Ghazali, Imam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad , 1986, at-Taubah ila Allah wa Muakaffirat azd-Dzunub.
Kairo : Maktabah al-Qur’an, Yang diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri, 2008, Menebus
Dosa: Makna dan Tatacara Bertobat. Cet III Bandung : Pustaka
Hidayah,
,Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin .trjm ‘Abdul
Rosyad Siddiq, 2008, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin . cet I Jakarta Timur :
Mutiara Faza
Ali Soleh, Ahmad bin, Sifat Wara’Mutiara Kisah Salaf
Dalam Berinteraksi Dengan Pekara Syubhat Dan Haram .
Hawa, Said bin Muhammad Daib, al-Mushtahlash
fi Tazkiyatil Anfus, Daarus Salam. (trj)Aunur Rofiq Sholeh Tamhid.2006, Mensucikan Jiwa-Konsep
Tazkiyatul Nasf Terpadu. Cet XI
Jakarta : Robbani Press,
, al- Mustkhlash fi
Tazkiyatil Anfus, Darus sallam: 2005 (trj.)Abdul Amin dkk, Kajian
Lengkap Penyucian Jiwa Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya’ ‘Ulumuddin, Cet III,
Jakarta : Pena Pundi Kasara, 2006
Jumiantoro, Totok dan Samsul Munis
Amri, Kamus Ilmu Tasawuf, Cet I Amzah
Nata, Abudin, 2009. Akhlak
Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada
Royyan, Ali Abu. 1967,Qira’at fi
al- Falsafah, cet I ,Mesir : Dar al Qaumiyah,
Islamhouse.com
[1] Abudin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009) hal 177. Lihat pula Ali
Abu Royyan, Qira’at fi al- Falsafah, (Mesir : Dar al Qaumiyah, 1967),
cet I, hlm. 1.1
[2] Yaitu dimensi
lahiriyah
[3]Yaitu dimensi
batin
[4] Totok Jumiantoro dam Samsul Munis Amri, Kamus
Ilmu Tasawuf, Cet I (Amzah)
Lihat pula Qusaery, ar-Risalah al-Qusaeriyah, (Kairo : Dar al
Kutub)
[5] Ibid, Totok
Jumiantoro dam Samsul Munis Amri,
[6]Imam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, at-Taubah ila Allah wa Muakaffirat
azd-Dzunub. (Kairo : Maktabah al-Qur’an, 1986) Yang diterjemahkan oleh Saifuddin
Zuhri, Menebus Dosa: Makna dan Tatacara Bertobat. Cet III (Bandung
: Pustaka Hidayah, 2008)hal 21
[7] Imam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin.trjm ‘Abdul
Rosyad Siddiq, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin cet I(Jakarta Timur : Mutiara
Faza, 2008)hal344
[8]Hadis Riwayat
Ibnu Majah
[9] Said bin
Muhammad Daib Hawa, al-Mushtahlash fi Tazkiyatil Anfus (Daarus Salam).
Aunur Rofiq Sholeh Tamhid, (trj)Mensucikan
Jiwa-Konsep Tazkiyatul Nasf Terpadu. Cet XI (Jakarta : Robbani Press,
2006)hal 408-412
[10] H.R. Ibnu
Huzaimah
[11] Majmu’ Fatwa : 10/ 615
[13]Mahmud Muhammad
al- Khazandar, Shifatul wara’ (trj), Eko Haryanto Abu Zyad, Sifat
Wara’, (Maktabah dakwah dan bimbingan Jaliyat Rabwah, 2008). Islamhouse.com
hal 2
[14] Hadits
di atas dikeluarkan oleh at-Turmudzi, Ibnu Majah dan selain keduanya. Hadits
ini divalidkan oleh sekumpulan ulama dan dilemahkan oleh sebagian lain, dan
inilah yang kuat. Lihat perinciannya pada kitab [Jami al-Ulum wa al-Hikam], di
awal penjelasan hadit ke-12, hadits ini.
[16]Op.Cit, hal 6
[18] Ahmad bin Ali
Soleh, Sifat Wara’Mutiara Kisah Salaf Dalam Berinteraksi Dengan Pekara
Syubhat Dan Haram . hal 06.
[19] Mundziri
-semoga Allah merahmatinya- berkata: "Hadits ini sebagaimana yang terdapat
dalam Sahih at-Targhib wa at-Tarhib I/103, diriwayatkan oleh at-Thabaroni di
dalam kitab al-Ausaath dan al-Bazzar dengan sanad yang hasan." Telah
disahihkan oleh Syaikh al-Albani -semoga Allah merahmatinya- di dalam kitabnya
Sahih al-Jami' no.4214. Lebih luasnya mengenai hadits-hadit wara ini lihat
Mausu'ah Nadhroh an-Naim VIII/3619.
[20] Lihat kitab:
Al-Ashum Al-Mukhatalitah, karangan syekh shaleh Al-Ushaimi
[21] Musnad Imam
Ahmad: 5/363 dan Al-Hutsaimi berkata di dalam kitab: Majma’uz Zawa’id: 10/296
diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad-sanadnya dan rijalnya yang
merawikannya adalah rijal dalam kategori
shahih. Dan AlBani berkata di dalam di dalam silsilah Al-Dahifah: 1/62 dan
sanadnya shahih dengan syarat muslim
[22]Op.Cit, Imam
al-Ghozali, hal 378
[23] Said Hawa, al-
Mustkhlash fi Tazkiyatil Anfus, (Darus sallam: 2005) (trj.)Abdul
Amin dkk, Kajian Lengkap Penyucian Jiwa Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya’
‘Ulumuddin, Cet III, (Jakarta : Pena Pundi Kasara, 2006 ), hal 349-350
[24] Op.Cit, al
Ghazali hal 380
Tidak ada komentar:
Posting Komentar