Sabtu, 14 Juli 2012

JALAN MENUJU TASAWUF


Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, seperti dikatakan Ibn Khaldun[1] disamping dikaruniai panca indera yang lengkap manusia  dilengkapi pula dengan akal fikiran dan hati nurani. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, berdaya guna dan dapat bekerja-sama secara harmonis. Dan untuk menghasilkan kondisi yang demikian ada tiga ilmu yang berperan penting. Pertama, fikih berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indera dan anggota tubuh (bersuci). Karena fikih banyak berurusan dengan dimensi eksoterik[2] dari manusia. Kedua, filsafat yang berperan menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal fikiran. Karena filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik dari menusia. Ketiga, tasawuf yang berperan dalam membersihkan sanubari. Karenanya tasawuf banyak berurusan dengan dimensi esotik[3] dari manusia.
Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas tentang hal-hal yang dapat membawa seseorang ke tingkat penyucian jiwa (tasawuf). Diawali dengan taubat, kemudian sifat zuhud serta sifat wara’.
Sudah menjadi tabiatnya, manusia tempat salah dan lupa, namun sebaik-baik manusia adalah mereka yang mau bertaubat. Manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Alloh dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima?

1.      TAUBAT
Taubat secara etimologi berarti kembali atau meminta ampun. Secara terminologi al-Qusaery  mendefinisikan taubat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju hal-hal yang dipuji syara’, menyesal termasuk bagian dari taubat[4]. Sedangkan Qomar Kailany memberikan pengertian bahwa taubat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dan mendalam disertai permohonan ampun serta meningglkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa[5].
Pada dasarnya tobat atau taubat merupakan ungkapan yang terdiri dari suatu pengertian yang terpadu dan tersusun dari tiga unsur secara berurutan, yaitu : ilmu, kondisi (keadaan) dan perbuatan.[6] Ilmu adalah pengetahuan tentang seberapa besar bahaya yang diakibatkan dosa dan tentang posisi dosa tersebut sebagai penghalang antara hamba dengan setiap objek yang dicintai. Jika mendapati kesadaran semacam ini, maka akan muncul darinya sebuah suasana hati, dimana akan timbul perasaan sedih akibat takut dibenci oleh Allah. Inilah yang kemudian disebut penyesalan. Jika perasaan menyesal ini dominan maka tentu akan membangkitkan keinginan untuk bertaubat dan memeperbaiki kesalahan masa lalu. Dengan kata lain, taubat merupakan upaya untuk meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak melakukannya kembali di masa mendatang[7]. Sebagaimana sabda Nabi SAW.
الندم توبة            
Penyesalan adalah taubat[8]
Kewajiban taubat dinyatakan secara tegas di dalam berbagai ayat dan hadis. Allah berfirman :
4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
 “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqç/qè? n<Î) «!$# Zpt/öqs? %·nqÝÁ¯R
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)(Q.S. at-Tahrim 8)\
Taubat yang semurni-murninya (nasuha) yakni semata-mata karena Allah, terbebas dari bebagai kotoran. Para Ulama’ sepakat bahwa hukum bertaubat adalah wajib. Karena meninggalkan tindakan maksiat itu hukumnya wajib dan berlaku untuk seterusnya. Begitu pula dengan mentaati Allah ta’ala. Dalam firman-Nya disebutkan :
4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd  ÇÌÊÈ  
" dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (Q.S an-Nur 31)
Maka jelas bahwa taubat adalah suatu kewajiban bagi setiap orang. Karena tiada manusia yang dapat luput dari perbuatan dosa. Baik menggunakan anggota tubuh maupun hati. Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari ampunan Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia. Bahkan Nabi Muhammad telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang berbunyi: "Setiap anak Adam pernah berbuat kesalahan/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah mereka yang bertaubat (dari kesalahan tersebut)."

Tingkatan Taubat[9]
Orang-orang yang bertaubat kecuali bebagai ketergelinciran memiliki empat tingkatan. Yaitu :
1.      Tingkatan pertama. Orang yang bermaksiat yang melakukan taubat dan istiqomah di atas taubat hingga akhir kehidupannya, lalu menyusul kekurangannya dan tidak berkeinginan mengulangi dosa-dosanya, ketegelinciran yang pada umumnya tidak bisa dihindari manusia yang tidak berada pada tingkatan kenabian. Taubat ini disebt taubatan Nasuha. Sedangkan jiwa yang tenang ini disebut an-Nafs al-Muthmainnah, yang kembali pada Tuhannya dengan penuh ridha dan diridhai. Sabda nabi :
سبق المفردون المستهتزون بذكرالله تعالى:  وضع الذكرعنهم أوزارهم فوردوا القيا مة خفا فا
“ Telah mendahului orang-orang yang menyendiri, yang sangat gemar berdzikir kepada Allah, dzikir itu telah menyingkirkan beban-beban berat mereka, lalu mereka datang pada hari kiamat dalam keadaan ringan
2.      Tingkatan Kedua, orang bertaubat yang menempuh jalan istiqomah dalam induk-induk ketaatan meninggalkan semua dosa besar, tetapi tidak dapat terlepas dari dosa-dosa yang membelitnya. Ia tidak sengaja melakukan dosa tersebut, tetapi tergoda oleh dosa-dosa itu ditengah gejolak keadaanya. Ia tidak pernah bertekad melakukannya ia mencela dirinya, menyesali dan memperbaharui tekadnya untuk berjuang menghindari sebab-sebab yang mengakibatkannya melakukan dosa-dosa tersebut. Nafsu ini disebut sebagai  ­an-Nafs al-Lawwamah, karena pemilik nafsu ini mencela berbagai keadaan tercela yang dilakukannya bukan karena sengaja. Tingkatan ini merupakan keadaan umum dari orang-orang yang bertaubat.
3.      Tingkatan Ketiga, bertaubat dan bertahan di atas istiqomah beberapa saat kemudian dikalahkan oleh syahwat dalam sebagian dosa sehingga dia melakukan dosa itu secara sengaja dan dengan syahwat, karena ketidakmampuannya mengalahkan syahwat. Meskipun demikian, dia tetap tekun melakukan berbagai ketaatan dan meninggalkan sejumlah dosa sekalipun didukung oleh kemampuannya untuk melakukan syahwat. Ia melakukan sebagian dosa itu hanya karena dikalahkan satu atau dua syahwat, tetapi ia tetap berkeinginan mendapatkan karunia Allah untuk bisa mengalahkan syahwatnya dan menghentikan keburukannya. Ia terus berusaha agar bisa mengalahkan nafsunya, tetapi karena nafsunya selalu menggoda dan mengajaknya menunda-nunda taubat. Nafsu ini yang disebut an-Nafs al-Musawwilah (nafsu yang selalu menggoda). Sedangkan orangnya termasuk orang-orang yang disebut Allah dengan firman-Nya  Q.S at-Taubah : 102 :
tbrãyz#uäur (#qèùuŽtIôã$# öNÍkÍ5qçRäÎ/ (#qäÜn=yz WxyJtã $[sÎ=»|¹ tyz#uäur $·¤ÍhŠy Ó|¤tã ª!$# br& z>qçGtƒ öNÍköŽn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÉËÈ
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(Q.S. at-Taubah : 102)
4.      Tingkatan keempat, bertaubat dan berlangsung istiqomah barang sesaat kemudian kembali lagi melakukan dosa atau banyak dosa tanpa memiliki hasrat uantuk bertaubat, dan tanpa menyesali perbuatannya, bahkan tenggelam di dalam dosa seperti orang lalai yang mempertutkan syahwatnya. Orang ini termasuk golongan orang yang memperturutkan syahwatnya. Jiwa ini disebut an-Nafs al- ammarah bis-suu’ (nafsu yang senantiasa memerintahkan kejahatan), yang lari dari kebaikan.
Di bulan pengampunan, Ramadhan yang "Syahrul Maghfirah" ini adalah saat yang tepat untuk kita bertaubat. Bagi yang sudah bertaubat mari memperbarui taubatnya dan yang belum taubat mari bergegas kepada ampunan Allah. 10 hari kedua bulan Ramadhan merupakan masa maghfirah (ampunan) sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat Abu Haurairah "Ramadhan, awalnya Rahmah, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya dibebaskan dari api neraka" [10]

2.      WARA’
Di antara sifat terpuji yang dianjurkan dan diperintahkan oleh syara’adalah bersikap wara’. Wara secara etimologi  berasal dari kata:وَرِعَ , يَرِع  yang di ambil dari ( ورع ) yang bermakna 'menahan' dan 'tergenggam'. Ibnu Faris berkata: "Wara bermakna juga: العفة (menjaga diri) yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya”. Ibu Manzhur berkata: الوَرَع (wara) artinya: merasa risih (jawa=pekewuh). Dan الوَرِع (dengan mengkasrohkan huruf ro') artinya orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkat : “Wara’ adalah menahan diri dari perkara yang terkadang bias memudharatkan, termasuk di dalam perkara ini adalah perkara-perkara yang diharamkan dan yang syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan orang yang menjaga perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan orang yang terjebak ke dalam perkara yang syubhat maka dia telah terjatuh pada perkara yang diharamkan, sama seperti seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya disekitar perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya”.[11]
 Dalam mengartikan makna wara’ ini ulama’ berbeda dalam ungkapan dengan berbagai ungkapan akan tetapi sepakat dalm makna. Berikut beberapa pendat ulama’ tentang wara’ :
Ibnu Umar r.a berkata: "Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya.” Ibnu Taimiyah berkata[12]: "Adapun wara, maknanya: Menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya."
Ibrohim bin Adham berkata: "Wara adalah meninggalkan setiap perkara samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah meninggalkan hal yang berlebihan.” Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Wara adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, hal itu terwujud dengan meninggalkan segala sesuatuyang hukumnya belum jelas dan belum jelas pula hakekatnya.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa wara’ adalah , sikap takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh, sebagai sikap kehati-hatian[13]. Seseorang dikatakan bersifat wara atau takwa karena didapati adanya aksi penolakan dan menahan diri dari apa yang dilarang (bukan karena ketidakadaan apa yang dilarang). Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat
Ibnu al-Qoyyim berkata: "Nabi telah merangkum pengertian wara dalam satu kalimat:
))  مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ  ((
"Dari baiknya keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang bukan urusannya (dikuasainya)." [14]
Mencakup 'meninggalkan apa-apa yang bukan urusannya': baik berupa pembicaraan, pandangan, pendengaran, jamahan, langkah, fikiran dan segala aktifitas lahir maupun batin. Kalimat Nabi di atas gamblang dan simpel memberikan pengertian sifat wara." [15]Allah SWT berfirman:
ولاَ يقف مَا ليْس لكَ به علم إن السمع والبصر والفؤادَ ﻛﻞ أولئِكَ ﻛﺎَنَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isro’: 36).”
Allah SWT berfirman:
فعلم خائنة الأقﻴﻦ وما ﺗﺨﻔِﻲ الَصُّدُورُ

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat) dan apa yang disembunyikan oleh hati. (QS. Gafir: 19)”
Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah[16]:
a.          Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
b.         Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang.
c.          Menjauhi semua yang diragukan.
d.         Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.
e.          Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
f.          Meninggalkan perkara yang tidak berguna

Dalil-Dalil Al-Qura'an dan Sunnah Atas Pensyari'atan Wara
Ibnu al-Qoyyim -semoga Allah merahmatinya- berkata [17]: "Allah I berfirman:
قال الله تعالى : $pkšr'¯»tƒ ã@ߍ9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh©Ü9$# (#qè=uHùå$#ur $·sÎ=»|¹ ( ÎoTÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×LìÎ=tæ   (المؤمنون : 51)
"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS.al-Mu'minun: 51)
Dan firman-Nya:
 قال الله تعالى :  y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù (المدثر: 4)
"Dan pakaianmu bersihkanlah" (QS.al-Mudatsir: 4)
Qotadah dan Mujahid (ulama tabi'in) menafsirkan: "Bersihkanlah jiwamu dari dosa. Jiwa diibaratkan dengan pakaian."
Demikian pula penafsiran Ibrahim an-Nakha'i, ad-Dohhak, as-Sya'bi, as-Zuhri dan peneliti dari para ahli tafsir. Ibnu Abbas menafsirkan: "Janganlah engkau mengenakannya untuk maksiat ataupun khianat."Ubay bin Ka'ab menafsirkan:"Janganlah engkau mengenakannya untuk khianat, kezaliman dan dosa. Tetapi kenakanlah sementara engkau dalam keadaan berbakti dan suci.Ad-Dohhak menafsirkan: "Perbaikilah amalmu!"
Said bin Jubair menafsirkan: "Bersihkan hati dan tempat tinggalmu!"
Al-Hasan dan al-Qurazi menafsirkan: "Perbaikilah moralmu!"
Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid menafsrikan: "(Ayat tersebut adalah) perintah membersihkan pakaian dari najis yang shalat tidak sah karena keberadaannya. Sebab orang-orang musyrik dulu tidak menjaga kesucian badan dan pakaian mereka."Towus (ulama Tabi'in) menafsrikan: "Pendekkanlah pakaianmu, kerena memendekkan pakaian adalah (menjaga) kesuciannya."
Penafsiran yang pertama adalah tafsir yang paling tepat. Tentu saja membersihkan pakaian dari najis dan memendekannya merupakan upaya (menjaga) kesucian yang memang diperintahkan dalam menyempurnakan amal dan akhlak (moral), karena najis lahiriah akan mewariskan najis batiniah. Oleh karena itu orang yang menghadap Allah U diperintahkan untuk membersihkan dan menjauhi najis.[18]
Maksud dari pemaparan di atas adalah: bahwa sifat wara dapat membersihkan kotoran hati sebagaimana air yang membersihkan pakaian dari kotoran dan najis-najis yang ada padanya. Ada relasi antara pakaian dan hati, baik lahir maupun batin. Karena itu, pakaian yang terlihat dalam mimpi (tafsirannya) menggambarkan hati dan keadaan orang tersebut. Keduanya saling mempengaruhi. Itulah sebabnya dilarang mengenakan sutra, emas dan kulit siba' (binatang buas) karena akan mempengaruhi hati dari style penghambaan dan ketundukan. Pengaruh hati dan jiwa pada pakaian adalah perkara yang tidak kasat, yang hanya diketahui oleh pemilik bashiroh (pirasat), yang dapat dilihat dari nilai kebersihan, kotor, dan baunya. Sampai-sampai pakaian orang yang taat dapat dibedakan dengan pakain pelaku dosa, tanpa disadari oleh yang mengenakannya."
ِيْنِكُمْ الوَرَعُ
"Keutamaan ilmu lebih baik dibandingkan keutamaan ibadah. Dan kebaikan agamamu adalah wara." [19]
Sesunguhnya wara memiliki penerapan yang beraneka macam. Berbeda antara satu dengan yang lain, sesuai dengan anggota tubuh yang digunakan dalam interaksi duniawi dan sosial, seiring keinginan-keinginan yang saling berbenturan dan berbeda kemaslahatan.
Telah disebutkan sebelumnya tentang perkataan syekh Utsaimin bahwa kesamaran tersebut bisa terjadi dalam beberapa hal, yaitu kesamaran dalam hukum, dan seorang mu’min tidak mengetahui apakah dia termasuk di dalam perkara halal dengan jelas atau di dalam perkara yang haram dengan jelas. Perkara ini memiliki contoh yang sangat banyak, sebab perbedaannya didasarkan pada perbedaan pemahaman para ulama, di antara mereka ada yang menganggap halal dan sebagian yang lainberkata haram, hal ini terlihat dalam sebagian aqad transaksi dan cara jualbeli yang banyak berkembang di masa sekarang ini”.[20]
Kedua: Samar dalam keadaan. Perkara ini tampak pada hokum tentang daging ayam yang diimpor dari luar, sebagian ulama ada yangmengatakan bahwa daging itu halal sebab termasuk dalam kategorimakanan ahli kitab. Allah SWT berfirman:“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, (QS. Al-Maidah: 5)”
Dan sungguh telah jelas terbukti bagi sebagian penuntut ilmu bahwabanyak daging ayam impor disembelih dengan menggunakan strum listrikatau cara lain yang tidak sesuai dengan cara penyembelihan yang syar’i. Maka perkara ini termasuk perkara yang samar dari sisi keadaan sehingga orang yang wara’ seharusnya meninggalkannya.
 Dan hal yang perlu diingatkan bagi orang yang meninggalkan dan menjauhi perkara syubhat bahwa Allah SWT akan memberikan ganti baginya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah terlewat.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Abi Qotadah danAbi Dahma’ bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnyatidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT kecuali Dia akanmemberikan ganti bagimu dengan yang lebih baik darinya”.[21]

3.      ZUHUD
Konsep Zuhud
Hakikat zuhud adalah tidak menyukai sesuatu dan mengharapkan ganti pada sesuatu yang lain[22]. Jadi orang yang meninggalkan sia-sia dunia untuk mengharapakan keutamaan akhirat maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang zuhud.
 Ciri-ciri sifat zuhud yaitu[23] :
Pertama,tidaks senang apabila memiliki sesuatu dan tidak bersedih ketika kehilangan sesuatu. (zuhud dalam harta) Firman Allah ;
“...... supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu....” (Q.S al-Hadid : 23)
Kedua, menganggap sama antara pujian dan celaan.(zuhud dalam kedudukan)
Ketiga, hantinya dipenuhi kecintaan kepada Allah, meskipun tidak dapat lebih daripada kecintaan kepada dunia dan Allah.
Jadi secara ringkas ciri-ciri sifat zuhud adalah dalam kondisi bagaimanapun baik miskin, kaya, mulia, terhina pujian ataupun celaan ia tetap dalam kondisi yang sama, hal ini karean keakrabannya dengan Allah.
Zuhud memiliki tiga tingkatan, yaitu [24]
Pertama, orang yang memaksakan diri menjauhi dunia. Meskipun sangat berat karena ia memerangi hal-hal yang disuakainya, tapi ia rela demi tingkatan zuhud yang sesungguuhnya.
Kedua, orang yang mejauhi dunia secara sukarela, karena ia menganggapnya sangat kecil, meski dalam hati ia masih menginginkannya.
Ketiga, adalah tingkatan tertinggi, dimana dalam tingkatan ini orang menjauhi dunia dengan sukarela dan tidak merasakan sifat zuhudnya. Karena ia tidak menganggap ia melakukan sesuatu.

Zuhud dan Sosialisme
Zuhud merupakan antitesa dari kehidupan glamour, di mana manusia menjadi satu individu yang menampilkan gemerlap kekayaan yang dimilikinya sebagai alat untuk menunjukan penguasaan dirinya atas harta-harta tersebut. Aplikasi dari zuhud adalah negasi dari setiap aplikasi tindakan dari cerminan kehidupan glamour seseorang. Zuhud merupakan satu konsep kehidupan yang berhubungan dengan kendali diri. Sehingga ia bekerja dalam tataran hati yang menelorkan hasil niat. Dari niat tersebut kemudian diaplikasikan dalam tindakan fisik. Karena zuhud berkutat pada masalah kendali diri, maka ia juga menghadapi dilema yang sama dengan konsep-konsep kendali diri lainnya dalam ajaran islam. Seperti sabar.
Islam mengajarkan untuk sabar sebagai kendali diri seseorang ketika menghadapi masalah. Aplikasi tindakan ini tentu saja berbeda-beda tergantung kondisi setiap individu yang dihadapi. Sehingga penafsiran-penafisran dari individu lainnya terhadap tindakan itu dapat saja berbeda dari apa yang sebenarnya menjadi landasan, yaitu kendali diri kesabaran.
Ranah kerja dari konsep zuhud yang lebih identik pada permasalahan individu atau pribadi ini seakan menciptakan kesan bahwa zuhud merupakan permasalahan setiap individu perorangan saja. Namun sebenarnya zuhud adalah konsep kehidupan bermasyarakat yang sangat efektif dalam menghilangkan penguasaan dan eksploitasi antar kelas dalam tatanan sosial suatu masyarakat, seperti yang telah terjadi saat ini.
Walaupun ini menyangkut kendali diri yang bekerja dalam ranah kejiwaan seseorang, namun parameter dari kehidupan zuhud bisa kita lihat dari respon seseorang dalam penggunaan hak miliknya yang terkait dengan kehidupan dan hak milik orang lain. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa zuhud tidak hanya sekedar berbicara tentang pola hidup yang sederhana dalam artian hidup serba kekurangan, dan tidak mempunyai cara produksi dan hasil produksi yang progresif. Satu pola hidup yang saat ini dinyatakan sebagai jalan yang lebih dekat dengan Tuhan. Namun zuhud harus dimaknai sebagai satu pola hidup seseorang yang tetap mempunyai cara produksi dan hasil produksi yang progresif namun dia memahami bagaimana ia harus berproduksi dengan alat produksi tersebut serta menggunakan hasil produksi tersebut terkait dengan kehidupannya sebagai makhluk sosial; sebagai bagian dari masyarakat.
Berbicara tentang manusia sebagai makhluk sosial akan membawa kita pada pemaknaan dimana manusia hidup dan berkembang tanpa bisa lepas dari interkaisnya dengan manusia lainnya di komunitas ia berada. Satu masyarakat sendiri pada awalnya adalah sebuah komunal yang bekerja atas dasar kerja sama. Namun seiring dengan kompleksitas permasalahan dan kebutuhan manusia yang semakin banyak, maka kemudian sistem komunal ini diganti menjadi satu bentuk masyarakat yang terbentuk atas dasar stratifikasi menurut kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat tersebut. Contohnya kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan maka akan menimbulkan golongan yang ahli dalam bidang kesehatan, begitu juga dalam masalah politik, militer, pendidikan, perdagangan dan lain-lain.
 Keadaan ini masih merupakan satu tatanan yang mesti terjadi dalam alur kehidupan manusia. Permasalahan terjadi ketika golongan-golongan tersebut mencoba menutup atau mempersulit akses terhadap orang lain di luar mereka. Sehingga disini terdapat privatisasi alat produksi yang dimiliki setiap golongan tersebut. Alat produksi yang dapat memberikan hasil bagi mereka kemudian mereka kuasai dan bagi orang-orang diluar golongan hanya bisa mendapatkan jasa dengan kompensasi yang setimpal. Kondisi inilah yang kemudian menciptakan kelas dalam suatu masyarakat, dimana kelas yang lebih tinggi menindas kelas di bawahnya.
Kerja konsep zuhud dalam kondisi masyarakat ini adalah bagaimana setiap individu yang memiliki suatu alat produksi tidak memprivatisasi alat produksi yang dimilkinya namun ditujukan untuk kehidupan bersama bagi masyarakat tersebut. Orang yang kaya tidak menggunakan kekayaannya sebagai jurang pemisah (alat pencipta kelas) dengan orang lain yang tidak kaya lewat usaha-usaha agar orang lain tidak bisa berusaha untuk menjadi sama dengan dia, namun ia menjadi pelopor bagi orang lain agar bisa menjadi sama seperti dia.
Jurang pemisah yang terbentuk antar kelas di masyarakat akan menciptakan budaya eksklusifisme yang diaplikasikan dalam simbolisme-simbolisme pencitraan keunggulan kelas. Seorang ilmuwan yang tidak zuhud akan menunjukan simbolisme pencitraan intelektualnya dengan topik-topik pembicaraan yang tidak relevan dengan kesadaran masyarakat di luar kelasnya. Pebisnis yang tidak zuhud akan menunjukan simbolisme pencitraan kekayaannya dengan pola kerja yang tidak bersahabat dengan rakyat. Demikian selanjutnya.
Dalam islam, simbolisasi pencitraan batas kelas adalah bentuk dari sifat ujub yang sayangnya telah di maknai secara ekstrem dengan memutus rantai kehidupan manusia sendiri. Sehingga yang terjadi adalah kesalahan sasaran yang seharusnya dituju. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang berusaha untuk kebutuhannya. Berarti juga ia makhluk yang meghendaki beberapa hal. Terserah mau kehendak terhadap kebutuhan materialis atau psikis. Untuk mendapatkannya ia harus tahu caranya, cara inilah yang dinamakan alat produksi. Kemudian hasil yang ia dapat, adalah hasil produksi.
Implikasi dari beda cara produksi dan beda hasil produksi tentu saja dapat menjadi beda kondisi antar satu individu dengan lainnya. Target yang dituju oleh konsep zuhud adalah memutus rantai cara berproduksi dan hasil produksi dengan batasan-batasan yang ketat. Beberapa konsep hidup lain juga memiliki aplikasi yang sama dengan kasus ini. Namun letak permasalahan sebenarnya adalah pada control social dalam aplikasi pelaksanaan cara produksi dan penggunaan hasil produksi dalam tataran social. Titik focus yang harus diperhatikan adalah bagaimana perbedaan yang terjadi dalam cara produksi dan hasil produksi tidak sampai menjadi kelas-kelas yang menindas kelas di bawahnya dalam suatu tatanan social.


                                                  DAFTAR BACAAN
al- Khazandar, Mahmud Muhammad, Shifatul wara’ (trj), Eko Haryanto Abu Zyad, Sifat Wara’, Maktabah dakwah dan bimbingan Jaliyat Rabwah, 2008.
Al- Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad , 1986, at-Taubah ila Allah wa Muakaffirat azd-Dzunub. Kairo : Maktabah al-Qur’an, Yang diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri, 2008, Menebus Dosa: Makna dan Tatacara Bertobat. Cet III Bandung : Pustaka Hidayah,
                                 ,Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin .trjm ‘Abdul Rosyad Siddiq, 2008, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin . cet I Jakarta Timur : Mutiara Faza
Ali Soleh,  Ahmad bin, Sifat Wara’Mutiara Kisah Salaf Dalam Berinteraksi Dengan Pekara Syubhat Dan Haram .
Hawa, Said bin Muhammad Daib, al-Mushtahlash fi Tazkiyatil Anfus, Daarus Salam. (trj)Aunur Rofiq  Sholeh Tamhid.2006, Mensucikan Jiwa-Konsep Tazkiyatul Nasf Terpadu. Cet XI  Jakarta : Robbani Press,
                     , al- Mustkhlash fi Tazkiyatil Anfus, Darus sallam: 2005 (trj.)Abdul Amin dkk, Kajian Lengkap Penyucian Jiwa Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya’ ‘Ulumuddin, Cet III, Jakarta : Pena Pundi Kasara, 2006
Jumiantoro, Totok dan Samsul Munis Amri, Kamus Ilmu Tasawuf, Cet I Amzah  
Nata, Abudin, 2009. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada
Royyan, Ali Abu. 1967,Qira’at fi al- Falsafah, cet I ,Mesir : Dar al Qaumiyah,
            Islamhouse.com


[1] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009) hal 177. Lihat pula Ali Abu Royyan, Qira’at fi al- Falsafah, (Mesir : Dar al Qaumiyah, 1967), cet I, hlm. 1.1
[2] Yaitu dimensi lahiriyah
[3]Yaitu dimensi batin
[4]   Totok Jumiantoro dam Samsul Munis Amri, Kamus Ilmu Tasawuf, Cet I (Amzah)      Lihat pula Qusaery, ar-Risalah al-Qusaeriyah, (Kairo : Dar al Kutub)
[5] Ibid, Totok Jumiantoro dam Samsul Munis Amri,
[6]Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, at-Taubah ila Allah wa Muakaffirat azd-Dzunub. (Kairo : Maktabah al-Qur’an, 1986) Yang diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri, Menebus Dosa: Makna dan Tatacara Bertobat. Cet III (Bandung : Pustaka Hidayah, 2008)hal 21
[7] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin.trjm ‘Abdul Rosyad Siddiq, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin cet I(Jakarta Timur : Mutiara Faza, 2008)hal344
[8]Hadis Riwayat Ibnu Majah
[9] Said bin Muhammad Daib Hawa, al-Mushtahlash fi Tazkiyatil Anfus (Daarus Salam). Aunur Rofiq  Sholeh Tamhid, (trj)Mensucikan Jiwa-Konsep Tazkiyatul Nasf Terpadu. Cet XI (Jakarta : Robbani Press, 2006)hal 408-412
[10] H.R. Ibnu Huzaimah
[11]  Majmu’ Fatwa : 10/ 615
[12] Ibid 10/617.
[13]Mahmud Muhammad al- Khazandar, Shifatul wara’ (trj), Eko Haryanto Abu Zyad, Sifat Wara’, (Maktabah dakwah dan bimbingan Jaliyat Rabwah, 2008). Islamhouse.com hal 2
[14] Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Turmudzi, Ibnu Majah dan selain keduanya. Hadits ini divalidkan oleh sekumpulan ulama dan dilemahkan oleh sebagian lain, dan inilah yang kuat. Lihat perinciannya pada kitab [Jami al-Ulum wa al-Hikam], di awal penjelasan hadit ke-12, hadits ini.
[15] Madarijus salikin: II/22
[16]Op.Cit, hal 6
[17] Madariju as-Salikin II/21, dengan sedikit penyederhanaan
[18] Ahmad bin Ali Soleh, Sifat Wara’Mutiara Kisah Salaf Dalam Berinteraksi Dengan Pekara Syubhat Dan Haram . hal 06.
[19] Mundziri -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Hadits ini sebagaimana yang terdapat dalam Sahih at-Targhib wa at-Tarhib I/103, diriwayatkan oleh at-Thabaroni di dalam kitab al-Ausaath dan al-Bazzar dengan sanad yang hasan." Telah disahihkan oleh Syaikh al-Albani -semoga Allah merahmatinya- di dalam kitabnya Sahih al-Jami' no.4214. Lebih luasnya mengenai hadits-hadit wara ini lihat Mausu'ah Nadhroh an-Naim VIII/3619.
[20] Lihat kitab: Al-Ashum Al-Mukhatalitah, karangan syekh shaleh Al-Ushaimi

[21] Musnad Imam Ahmad: 5/363 dan Al-Hutsaimi berkata di dalam kitab: Majma’uz Zawa’id: 10/296 diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad-sanadnya dan rijalnya yang merawikannya  adalah rijal dalam kategori shahih. Dan AlBani berkata di dalam di dalam silsilah Al-Dahifah: 1/62 dan sanadnya shahih dengan syarat muslim
[22]Op.Cit, Imam al-Ghozali, hal 378
[23] Said Hawa, al- Mustkhlash fi Tazkiyatil Anfus, (Darus sallam: 2005) (trj.)Abdul Amin dkk, Kajian Lengkap Penyucian Jiwa Tazkiyatun Nafs Intisari Ihya’ ‘Ulumuddin, Cet III, (Jakarta : Pena Pundi Kasara, 2006 ), hal 349-350
[24] Op.Cit, al Ghazali hal 380 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar