Sabtu, 06 April 2013

HUKUM PERKAWINAN


  1. Latar Belakang
Berbicara masalah adat merupakan hal yang sangat menarik karena di dalamnya terdapat aturan-aturan yang merupakan cerminan kepribadian asli bangsa Indonesia. Sekalipun aturan-aturannya bersifat tidak tertulis tidak berarti mengurangi kepatuhan warga masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan hukum yang terdapat di dalamnya.
Hukum Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu dan tetap terpelihara sampai sekarang. Hal ini dikarenakan Hukum Adat telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat.
Secara kodrati manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Oleh karena itulah manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Hidup bersama tersebut dalam kenyataannya dimulai dari kelompok yang terkecil yang disebut dengan keluarga. Keluarga terbentuk dari hidup bersamanya laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan yang disebut dengan perkawinan. Hidup bersama yang terikat dalam perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam suatu masyarakat yang mempunyai peradaban.
Perkawinan atau pernikahan merupakan suatu peristiwa sakral dalam sejarah kehidupan manusia. Perkawinan, selain menyatukan dua insan berbeda  yang saling mencintai, lebih pentingnya menyatukan dua keluarga yang berbeda. Karena perkawina tidaklah hanya berkaitan dengan kedua belah fihak memepelai saja tetapi juga kedua orang-tua kedua belah fiihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan sudah dianggap sah salah satu syaratnya adalah jika perkawinan itu telah sah dimata agama dan kepercayaan masing-masing. Yang pada umumnya berdasarkan ketentuan hukum adat masing-masing.[1] Meskipun pada ujung undang-undang tersebut ditambahkan dengan mencatatkan perkawinan di Lembaga Urusan Perkainan[2]. Maka jika dilihat dari undang-undang tersebut terdapat suatu lahan dimana negara tidak mengikat peraturan pernikahan secara khusus, dalam hal ini memeberikan ruang untuk orang atau kelompok yang memiliki peraturan sendiri. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya UU No. 1 Th. 1974 tidak membatasi bagaimana suatu perkawinan harus dilaksanakan, tetapi hanya mengatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut agama dan kepercayaan yang dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan. Dengan adanya ketentuan ini berarti pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat tetap diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Th. 1974.
Melihat beraneka ragam suku dan budaya Indonesia, serta penyebarannya yang luas dari sabang sampai merauke tentu saja hal ini mengakibatkan beraneka ragam adat kebiasaan yang berbeda-beda. Dan tidak tentu saja salah satunya adalah dalam hal perkawinan. Maka dari itu dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana perkawina dalam hukum adat tersebut, terkait denga sistem, sifat serta bentuk-bentuk perkawinan.

PERKAWINAN


Hukum perkawinan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dengan segala akibatnya, percerian dan harta perkawinan[1]. Hukum perkawinan adat adalah bagian dari hukum tidak tertulis yang tumbuh & berkembang dalam masyarakat  yang mengatur tentang  perkawinan. Dalam Hukum Adat perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan maksud untuk melanjutkan generasi[2]. Berbeda dengan Hukum Positif di Indonesia yang mengatur secara tegas masalah perkawinan dalam UU No 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa[3].
Perkawinan memiliki arti yang sangat penting, bukan lagi menjadi urusan pribadi semata tetapi juga menyangkut urusan keluarga, suku, masyarakat dan kasta. Maka dari itu dalam pelaksanaanya tidak terlepas dari upacara-upacar adat, dengan tujuan untuk keselamatan mempelai dalam mengarungi rumah tangganya sampai akhir hayatnya. Segala bentuk upacara ini merupakan upacara peralihan (rites de passage[4]), setelah melawati upacara-upacara tersebut menjadi hidup bersama dalam suatu ikatan keluarga (somah) sebagai sepasang suami-istri. Yang semula masih satu atap dengan orang tua masing-masing kemudian mereka berdua menjadi suatu keluarga baru yang berdiri sendiri[5].
a.      Syarat-syarat Perkawinan[1]
Di dalam hukum adat tidak diatur secara rinci tentang syarat-syarat sahnya perkawinan, bahkan syarat perkawinan pada masyarakat adat tergantung bentuk perkawinan yang mereka laksanakan. Tetapi secara umum syarat sahnya perkawinan diantaranya sebagai berikut :
a.       Adanya persetujuan sukarela dari kedua belah fihak calon suami istri, kecuali jika mereka itu belum dewasa. (hukum adat dahulu tidak mengenal batasan usia dalam perkawinan. Istilahnya adalah kawin gantung yaitu adanya perkawinan anak-anak dimana hidup berkumpul sebagai suami istri dan berumah tangga sendiri ditangguhkan sampai saat usia yang pantas)
b.      Persetujuan keluarga yaitu kedua orang tua belah fihak merupakan syarat yang sudah pada tempatnya, terutama bagi calon mempelai yang belum dewasa. (karena masalah perkawina merupakan keluarga/suku/clan yang bersangkuta)
c.       Tidak ada larangan/halangan perkawinan, yaitu :
§      Antar  keluarganya
§      Antara anak angkat dengan orang tua angkatnya (di luar jawa)
§      Sistem exogami pada suku bangsa yang menggunakan sistem endogami. Dan sebaliknya
§      Poligami pada beberapa daerah tertentu
b.      Sistem Perkawinan Adat
            Dalam hukum adat terdapat tiga macam sistem perkawinan, yaitu :
§      Endogami, adalah suatu sistem perkawinan dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan oarang dari sukunya sendiri. Sistem semacam ini terdapat di daerah Toraja atau di daerah yang masih menghargai darah kebangsaan
§      Exogami, adalah sistem perkawinan dimana seseorang hanya boleh menikah dengan orang diluar suku/ klannya. Sistem ini terdapat di suku Batak, Gayo, alas dan Sumatra Selatan
§      Eleutherigami,  adalah sistem perkawinan dimana seseorang diperbolehkan menikah baik dengan orang satu suku ataupun yang berasal dari luar
Adapun azaz-azaz perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:[2]
a.       Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun, damai, bahagia dan kekal
b.      Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut agama atau kepercayaa, tetapi  juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat
c.       Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukanya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat
d.      Perkawinan harus didasarkan atas perseujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui oleh masyarakat adat
e.       Perkawinan dapat dilakukan oleh pria atau wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasrakan izin orang tua/ keluarag atau kerabat
f.       Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan
g.      Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri –istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang kedudukanya sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga

A.           RUANG-LINGKUP PERKAWINAN
a.      Sifat-sifat Perkawinan
Keanekaragaman budaya Indonesia, menjadikan  tradisi  hukum adatnya pun  beragam termasuk dalam hukum perkawinan adat, indikasinya ada bervariasinya tata cara-prosesi perkawinan adat. Untuk mengetahui hukum perkawinan adat, harus dipahami pola susunan masyarakat, seperti  Genealogi Patrilineal (garis bapak),  Genealogi Matrilineal (garis ibu), Genealogi Parental (garis bapak + ibu),Genealogi Teritorial (wilayah) karena hal ini juga merupakan salah satu pengaruh dari sifat hukum adat dalam menentukan tempat tinggal setelah perkawinan.
Di sebagian daerah Indonesia berlaku adat kebiasaan bahwa upacara perkawinan dilakukan di tempat keluarga mempelai wanita meskipun terkadang juga dilakukan di tempat mempelai laki-laki. Mengenai tempat tinggal suami istri setelah upacara pernikahan, dalam hukum adat dikenal beberapa cara tergantung sifat perkawinannya. Adapun sifat-sifat perkawinan dalam hukum adat yaitu :
a.       Perkawinan Patrilokal,  merupakan perkawinan yang menyebabkan kedua mempelai bertempat tinggal di kediaman pengantin laki-laki, baik itu sementara atau selamanya
b.      Perkawinan Matrilokal, merupakan kebalikan dari sistem patrilokal. Dimana dalam hal ini kedua mempelai tinggal di rumah sang wanitaa (antara lain terdapat di Miangkabau dan Lampung)
c.       Cara lain,   yaitu setelah upacara pernikahan di kediaman mempelai perempuan, kemudian pasangan suami istri tersebut tinggal sendiri terpisah dari keuarganya masing-masing.
b.      Pertunangan
Sebelum terjadi suatu perkawinan, pada umumnya di Indonesia ada istilah lamaran (nglamar), atau pertunangan. Yaitu suatu stadium (keadaan) yang besifat khusus yang di Indonesia yang merupakan pendahuluan dari akan dilangsungkannya suatu perkawinan[3]. Pertunangan ini timbul setelah adanya persetujuan dari kedua belah fihak untuk mengadakan perkawainan. Dan persetujuan ini dicapai keduabelah fihak setelah setelah terlebih dahulu ada suatu lamaran, yaitu permintaan /pertimbangan yang dikemukakan oleh fihak laki-laki kepada fihak perempuan.
Lamaran ini umumnya diwakilkan,melalui utusan yang mewakili fihak laki-laki. Pertemuan ini membicarakan tentang kehendak mengadakan perkawainan, apabila telah terjadi kesepakatan dengan kata lain lamaran diterima maka tahapan selanjutnya adalah pertunangan. Pertunangan ini baru mengikat setelah adanya panjer atau tanda pengikat. Dalam adat jawa disebut dengan panjer, paningset, di Aceh dengan tanda kong narit, payancang (Jawa Barat), paweweh (Bali), bobo mibu (Pulau Nias). Dasar pemebrian ini merupakan suatu perbuatan religius, salah satu contonya di Bali di dareah Tnganan Pagringsingan yang disebut masawen artinya meletakkan suatu tanda larangan dengan memberikan sirih[4].
Dasar alasan pertunangan ini bervariasi antar daerah di Indonesia, akan tetapi pada umumya adalah:
·         Karena ingin menjamin perkawina yang dikehendaki itu dapat berlangsung segera.
·         Untuk membatasi pergaulan muda-mudi yang telah berpasangan karena dikhawatirkan berbuat yang tidak semestinya
·         Memberi kedua belah fihak untuk saling mengenal[5].
Mengenai tanda pengikat, tiap daerah berbeda-beda. Di beberapa dareha di Indonesia (Minagkabau, pada suku Dayak serta bebrapa Suku Toraja) tanda pengikat ini diberikan timbal balik oleh masing-masing fihak[6].Lazimnya untuk zaman sekarang berupa cincin serta diberika juga timbal-balik oleh kedua belah fihak. Dengan adanya pertukaran cincin berarti tahapan awal perkawinan telah dimulai. T. Jafizman mengatakan bahwa dalam hukuma adat suatu persetujuan untuk bertunangan tersebut telah mengikat apabila kedua belah fihak telah saling memepertukarkan tanda (zachtbarr teken) sebagai bukti telah terjadi peristiwa pertunangan yang merupakan peristiwa hukum[7]
Akibat pertunangan ini adalah kedua belah fihak terikat untuk melakukan perkawinan. Selain itu akan adanya hubungan yang lebih khusus antara bakal mertua dan bakal menantu dan antara bakal besan. Akan tetapi pertunangan yang sudah mengikat ini masih mungkin dibatalkan, tentunya dengan segala konsekwensinya (khususnya jika diputuskan secara sefihak). Kalau pembatalan dari fihak pria maka akan kehilangan peningset  yang telah diberikan, namun jika pembatalan dari fihak perempuan , maka fihak yang membatalkan ini harus membayar denda.

c.       Bentuk-Bentuk Perkawinan
1.      Perkawinan dengan peminangan , (aanzoek huwelijk)
Perkawinan dengan peminangan berarti perkawinan yang didahului dengan melamar (Bali = mapedik ), yaitu ajakan dari mempelai laki-laki yang disampaikan melalui perantaranya kepada fihak perempuan. [8]Peminangan merupakan pola yang umum dilakukan oleh masyarakat/pola yang dapat ditemui pada tiap masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Bila lamarang diterima baik, kadang dilakukan pertunangan lebih dahulu, dimana pertunangan tersebut akan mengikat kedua belah pihak, pada saat diterimanya hadiah pertunangan yang merupakan alat pengikat/tanda yang kelihatan, yang kadang-kadang diberikan oleh fihak laki-laki kepada fihak perempuan/dari kedua belah pihak.
Sebagai tanda telah terjadi pertunangan, biasanya fihak laki-laki memberikan semacam hadiah (tanda pertunangan) yang disebut peningsut (Jawa), penyancang (Sunda), tanda konkrit/ janji sudah mengikat (Aceh), Pasikok/ pengikat (Sulawesi Selatan), Sasere/ Mengikat (Mentawai), Mas aye / emas Pengikat (Bei), Base Panglarang/ Tanda Pencegah (Bali), Bobo Mibu/ Pengikat Rambut (Nias)[9]
2.      Perkawinan lari bersama (wegloophuwelijk atau vlucht huwelijk).
Pada umumnya terdapat pada masyarakat patrilineal.Perkawinan ini dilakukan dengan cara calon suami melarikan diri bersama-sama atas kehendak mereka berdua. Dengan maksud, untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara peminangan atau untuk menghindarkan diri dari rintangan-rintangan dari fihak orang tua dan sanak saudara, yang terutama datangnya dari pihak perempuan.
Adanya kawin lari bersama ini bukan karena tidak adanya persetujuan dri orang tua kedua belah fihak tetapi merupakan cara adat untuk menghindarkan mas kawin/ uang jujur yang terlalu tinggi. Akibat lari bersama ini mungkin lalu diadakan perkawinan setelah ada kesepakatan diantara orang tua / keluarga mereka, atau dapat pula terjadi tanpa izin orang tua tetapi mendapatkan pengesahan kepala adat/pengesahan raja.
3.      Perkawinan Bawa Lari, (schaak huwelijk)
Yaitu perkawinan dengan cara membawa lari perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain dengan paksaan. Pada masyarakat Bugis-Makassar, kawin bawa lari / silarian merupakan hal yang tidak direstui oleh masyarakat, hal itu biasanya dilakukan dengan berbagai alasan seperti belanja perkawinan yang ditentukan keluarga si gadis terlampau tinggi. Apabila terjadi perkawinan bawa lari, maka oleh pihak keluarga perempuan akan melakukan pengejaran oleh kaum Tomosiri dan kalau mereka berhasil menemukan keduanya dalam pelarian itu, kemungkinan laki-laki akan dibunuh.
4.      Perkawinan Jujur, (bruidschaat huwelijk)
Adalah perkawinan yang di dahului dengan penyerahan uang/ barang jujur dari fihak pria ke pihak wanita. Kawin jujur ini terjadi pada masyarakat patrilineal. Fungsi dari uang jujur ini adalah sebagai syarat magis untuk melepaskan calon istri dari keluarga nya untuk dimasukkan dalam keluarga calon suaminya. Uang jujur ini bisa pula difahami sebagai uang pembelian yang harus dibayar fihak mempelai laki-laki kepada fihak wanita.
5.      Perkawinan mengabdi/kawin jasa (dienst huwilijk)
Perkawinan mengabdi merupakan salah satu bentuk perkawinan jujur, tetapi pembayarannya tidak berbentuk uang atau barang yang berharga melainkan berupa tenaga kerja/ jasa/ pengabdian diri dari pengantin pria kepada orang tua pengantin wanita. Perkawinan semcam ini bisa dijumpai di daerah Batak (Mandinding), Lampung (ering Beli/ Ngisik), Bali (Nunggonin), Bengkulu (Sumondo), Sunda (Mengabdi), dan di Cirebon (Kawin Pacul)
6.      Perkawinan Ambil Anak, (inlijf huwalijk)
 Perkawinan berganti atau bertukar dapat terjadi kalau ada dua keluarga atau clan yang saling memberi pengantin, pria maupuin wanita, sehingga antara keduanya terjadi hubungan perkawinan atau berbesanan timbal balik (symetrisch connubium). Perkawinan ini terjadi tanpa adnaya uang jujur karena menantu laki-laki dipungut sebagai anak oleh mertuanya dengan maksud untuk melangsungkan garis keturunan mertuanya itu. Perkawinan berganti sering terjadi di Ambon di kalangan orang-orang Tolainang (Sulawesi Tenggara) dan di daerah Irian Jaya.

7.      Perkawinan Berganti/Bertukar  (ruil huwelijk)
Perkawinan ini dapat terjadi jika ada 2 keluarga/ klan yang akan berbesan, pria maupun wanita sehingga antara keduanya terjadi hubungan perkawinan atau berbesan timbalbalik (symetrisch connubim). Perkawinan semacam ini dilakukan di daeah Ambon di kalangan orang-orang Tolainang.
8.      Perkawinan Ipar, (liveraat)
Perkawinan ipar/mengganti/levieraat/substitution marriage, ialah perkawinan antara sorang janda yang menetap pada keluarga almarhum suaminya dengan adik laki-laki dari almarhum suaminya. Perkawinan semacam ini terdapat di daerah Batak Toba (Pareakhon), Palembang (Ganti Tikar), Bengkulu (Kawin Anggau), Lampung (Nyemalang) dan Jawa Tengah (Tunggak Semi). Pada awalnya merupakan perkawinan yang khas terdapat pada masyarakat hukum adat patrilineal sebagai akibat adanya perkawinan jujur.
9.      Perkawinan Lanjutan / Sororot (contuniation marriage).
Merupakan kebalikan dari kawin ipar. Disini duda/balu yang ditinggal mati istrinya kawin dengan saudara (adik) perempuan dari almarhum istrinya. Istri kedua ini melanjutkan tempat kedudukan istri pertama yang meninggal itu.
10.  Perkawinan Baku Piata
Masyarakat sangihe menyebutnya dengan Nepa piara, yakni dengan mendatangi rumah seorang perempuan dan tinggal bersama/hidup bersama. Dengan hidup bersama ini mereka oleh masyarakat sudah diangab sebagai pasangan suami istri, sehingga tidak diperlukan upacara nikah / upacara perkawinan. Sekarang pada umumnya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.     
B.            PERCERAIAN DAN AKIBATNYA
Tujuan utama dari perkawinan adalah membina kehidupan bersama yang kekal samapai akhir hayat. Akan tetapi dalam perjalanannya sebuah rumah tangga tidak kan bisa lepas dari permasalahan. Dan seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan. Sebenarnya putusnya perkawinan adalh hal yang wajar saja karena dasar perkawinan adalah ikatan. Dengan kata lain bahwa perkawinan adalah sebuah kontrak[10].
Pada dasarnya alasan utama pitusnya perkawinan adalah karena kematian dan perceraian walaupun hubungan perkawinan belum tentu putus. Hal ini dikarenakan dalam hukum adat setempat tidak menganal putusnya hubungan perkawinan. Contohnya seorang suami meninggal, dalam hal ini putusnya perkawinan karean kematian. Akan tetapi hubungan kekerabatan diantara mereka tidak putus dikarenakan sebab akibat perkawinan, lebih-lebih jika terdapat keturuna
Di dalam  masyarakat adat yang bersifat bilateral, apabila suami wafat, maka istri yang putus kembali kekerabat asalnya. Tetapi dikalangan masyarakat pertrinial dalam bentuk perkawinan jujur, apabila suami wafat, istri tetap di rumah kerabat suami meskipu  tidak mempunyai keturunan. Sebaliknya dalam bentuk perkawinan semanda, dimana suami si janda dapat melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain yang masuk megikuti  tempat kediaman istri, dan bila istri yang meninggal suami tidak kembali lagi pada kerabatnya sendiri.[11]
Meskipun perceraina ini lazim terjadi, akan tetapi ada pula daerah yang tidak menganl istilah perceraian seperti di Lampung dan di  Aceh. Tidak jauh berbeda di  daerah Jawa, perceraian adalah hal yang snagat tidak disukai. Mengutip pendapat Prof. Djojodiguno bahwa cita-cita orang jawa adalah berjodoh sekali seumur hidup[12].
Dalam hukum positif yaitu di dalam  UU No.I tahun 1974 pasal 39: desutkan bahwa : “perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding  pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dantidak berhasil mendamaikan kedua belahpihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami-istri”.
 Alasan terjadinya perceraian bermacam-macam. Tetapi dari variasi ini terdapat kesamaan yaitu karena adanya zina (overspel)[13] yang dilakukan oleh istri. Selain alasan umum di atas  juga ada alasan-alasan yang lain, yaitu :
·         Tidak memperoleh keturunan  baik karena kemandulan atau karena suami yang impoten dan suam meninggal dunia (minta cerai dari jabu asal suaminya -- Batak)
·         Karena kerukuna rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sungguh dipertahankan lagi (Lampung)
·         Karena campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah-tangga mereka (Aceh)[14]
·         Suami meninggalkan istri sangat lama ataupun istri berkelakuan tidak sopan.
·         Adanya keinginan bersama dari kedua belah fihak adanya persetujuan untuk bercerai[15]
Akibat Perceraian
Setelah terjadi perceraian maka masing-masing bekas suami istri bebas untuk kawin lagi. Bekas istri sebelum menikah lagi harus melewati masa tunggu (iddah) sesuai ketentuan agamanya. Sedangkan masa tunggu yang ditetapkan oleh UUP adalah :
§      Apabila sebab putusnya karena kematian maka iddahnya 130 hari
§      Apabila sebab putusnya karena perceraian maka iddahnya Tiga kali suci atau ± 90 hari
§      Sampai ia melahirkan, apabila janda tersebut dalam keadaan hamil.
Kalau terbukti janda tersebut tidak pernah/belum pernah berhubungan dengan mantan suamu maka bisa langsung kawin, tidak perlu masa tunggu[16]
Menurut hukum adat dan hukum islam, bekas istri tidak dapat menuntut nafkah dari bekas suaminya, sedangkan hukum Kristen ini dapat diatur dalam pasal 62 ordonansi tanggal 25 Pebruari 1993 Staatsblad No. 74[17]. Berbeda dengan UUP yang menetukan akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian :
§      Baik ibu atau bapak tetap  berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, hal ini dilakukan demi kepentingan anak
§      Bapak yang bertanggugjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak
§      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya[18]
§      Akibat perceraian terhadap anak dan kekerabatan

Masyarakat Patrilinial
Masyarakat matrilinial
Masyarakat parental atau bilateral
Putusnya perkawinan karena kematian atau perceraian,maka kedudukan anak berada dalam kekerabatan suami
Putusnya perkawinan karena kematian atau perceraian, maka anak-anak berkedudukan dalam kekerabatan istri
Putusnya perkawinan karena kematian atau perceraian, maka kedudukan anak-anak tergantung keadaan.


C.           HARTA PERKAWINAN
Perkawinan, selain mengakibatkan suatu ikatan hak dan kewajiban, juga menmbentuk kehidupan baru dari para pribadi kodrati yang melakukan hubunga perkawinan itu. Yaitu terbentuknya suatu keluarga (somah: Jawa gezin : Belanda  houshold : Inggris). Dalam memenuhi kehidupan bersama tersebut tentu dibutuhkan fasilitas berupa materi atau harta kekayaan.
     Harta kekayaan hasil persatuan pernikahan lazimnya di bagi menjadi 4 golongan, yaitu :
a)      Harta yang berasal dari keluarga/ orang tua masing-masing sebagai hibah atau warisan.
Harta suami/istri yang diperoleh dari pemberian orang-tua atau keluarganya sebelum mereka kawin disebut harta asal/ gawan (jawa), atau harta pusaka (melayu), atau sisila (Makassar), atau Bebektan (Bali), atau watamparen siwali (Bugis). Dalam masa perkwainan harta ini harus dikuasai sendiri-sendiri. Dan apabila terjadi perceraian maka harta tersebut tetap mengikuti pemiliknya semula. Dalam hukum adat berlaku asas bahwa harta asal itu tidak dapat beralih/dialihkan keluar dari keluarga. Agar tidak hilang maka harta asal tersebut tidak dapat diwaris oleh janda/duda almarhum dan anak angkat[19].

b)      Harta yang berasal dari hasil usaha suami/istri baik sebelum/ seelama pernikahan
Harta yang diperoleh dari hasil usaha masing-masing disebut harta pencaharian (Minangkabau), gunaknya (Bali), gana, go
no (yang diperoleh suami di Jawa), gini (yang diperoleh istri di Jawa). Harta ini dibagi menjadi dua bagian :
·         Harta yang diperoleh sebelum mereka kawin, harta ini tetap mejadi milik dan dikuasai oleh pemiliknya masing –masing, jika terjadi perceraian harat usaha sendiri ini tetap dimiliki dan dikuasai oleh pemiliknya masing-masing[20].
·         Harta yang diperoleh sendiri oleh masing-masing suami/istri sesudah mereka kawin, pada umumnya termasuk harta bersama. Di Aceh penghasilan suami menjadi miliknya sendiri, bilamana si istri dulu tidak memberikan dasar material. Juga di Jawa Barat penghasilan yang diperoleh di mana perkawinan menjadi milik si istri, hal ini terjadi apabila si istri pada waktu melangsungkan perkawianan merupakan orang kaya dan suami dari golongan miskin. Demikian juga kiranya di kalangan para priyayi di Jawa dapat dianggap bahwa penghasilan si suami menjadi miliknya sendiri.
c)      Harta yang diperoleh bersama-sama selama masa perkawinan
Harta yang diperoleh suami istri dalam masa perkawinan termasuk harta bersama yang dikuasai oleh suami istri bersama-sama. Dalam hukum adat harta bersama ini disebut : gono-gini (Jawa), guna-kaya (Sunda), ghuna-ghuna (Madura), harta suarang (Minagkabau)[21]. Menurut keputusan Mahkamah Agung tanggal 7 November 1956 no 51 K/Sip/1956, maka menurut hukum adat, semua harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan termasuk gono-gini, meskipun hasil kegiatan suami sendiri[22]. Bagian dari gon-gini yang merupakan barang warisan adalah sama antara suami dan istri[23].
 Apabila terjadi perceraian maka harta bersama ini dibagi antara kedua belah fihak, masing-masing memperoleh bagian separuh. Tetapi ada beberapa daerah yang membaginya sedemikian rupa. Misalnya di Jawa Tengah terdapas asas sagendong sepikul[24] yaitu  suami memperoleh bagian dua per tiga, sedangkan istri hanya sepertiga[25].
d)     Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami istri bersama pada waktu pernikahan[26]
Harta yang berasal dari hadiah yang diberikan orang-lain pada waktu pernikahan menjadi milik bersama, dana kalau terjadi perceraian maka harta tersebut dibagi sama besarnya antara suami-istri.


DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali  1986 Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW.Jakarta : Bina Aksara
Effendy, H.A.M. 1990 Pokok-Pokok Hukum Adat, Cet III: Duta Grafika,
Haar, Ter Beginslend en Stelsel van het Adatrech. Soebekti Poesponoto ed. 1979 Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat . terj. 3  Jakarta : PT. Pradya Paramita
Hadikusuma, Hilman  1982, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Penerbit Alumni,
Jafizham, T, Persentuhan Hukum di Indoonesia dengan Hukum Perkawinan Islam
Nuruddin Amirul dan Azhari Akmal , 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet III , Jakarta : Kencana Prenada Media Grup
Setyani, Nur Hidayati Hand out perkuliahan hukum adat dengan, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Jakarta: CV Rajawali,
Soekanto, Soerjono Hukum Adat Indonesia , Jakarta : Grafindo Persada,
Undang-Undang RI  No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 2007Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan, Cet ke VII Jakarta : Sinar Grafika,
Wignodipoero, Soerojo, 1989 Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,Cet ke VIII, Jakarta : Haji Masagung
www.skripsi-tesis.com07/04/perkawinan adat suku sasak


2 komentar:

  1. gabisa dibaca karna design blog yg sangat jelek dr tulisan gakeliatan backgroubd pun norak

    BalasHapus