- Latar Belakang
Berbicara
masalah adat merupakan hal yang sangat menarik karena di dalamnya terdapat
aturan-aturan yang merupakan cerminan kepribadian asli bangsa Indonesia.
Sekalipun aturan-aturannya bersifat tidak tertulis tidak berarti mengurangi
kepatuhan warga masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan hukum yang terdapat
di dalamnya.
Hukum
Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus
tahun yang lalu dan tetap terpelihara sampai sekarang. Hal ini dikarenakan
Hukum Adat telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman
dalam pergaulan hidup masyarakat.
Secara
kodrati manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia
lain. Oleh karena itulah manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya.
Hidup bersama tersebut dalam kenyataannya dimulai dari kelompok yang terkecil
yang disebut dengan keluarga. Keluarga terbentuk dari hidup bersamanya
laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan yang disebut dengan perkawinan.
Hidup bersama yang terikat dalam perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat
penting dalam suatu masyarakat yang mempunyai peradaban.
Perkawinan
atau pernikahan merupakan suatu peristiwa sakral dalam sejarah kehidupan
manusia. Perkawinan, selain menyatukan dua insan berbeda yang saling mencintai, lebih pentingnya
menyatukan dua keluarga yang berbeda. Karena perkawina tidaklah hanya berkaitan
dengan kedua belah fihak memepelai saja tetapi juga kedua orang-tua kedua belah
fiihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Dalam
hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan sudah dianggap sah
salah satu syaratnya adalah jika perkawinan itu telah sah dimata agama dan
kepercayaan masing-masing. Yang pada umumnya berdasarkan ketentuan hukum adat
masing-masing.[1]
Meskipun pada ujung undang-undang tersebut ditambahkan dengan mencatatkan
perkawinan di Lembaga Urusan Perkainan[2].
Maka jika dilihat dari undang-undang tersebut terdapat suatu lahan dimana
negara tidak mengikat peraturan pernikahan secara khusus, dalam hal ini
memeberikan ruang untuk orang atau kelompok yang memiliki peraturan sendiri.
Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya UU No. 1 Th. 1974 tidak
membatasi bagaimana suatu perkawinan harus dilaksanakan, tetapi hanya
mengatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut agama dan kepercayaan yang
dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan. Dengan adanya ketentuan ini
berarti pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat tetap diperbolehkan sepanjang
tidak bertentangan dengan UU No. 1 Th. 1974.
Melihat
beraneka ragam suku dan budaya Indonesia, serta penyebarannya yang luas dari
sabang sampai merauke tentu saja hal ini mengakibatkan beraneka ragam adat
kebiasaan yang berbeda-beda. Dan tidak tentu saja salah satunya adalah dalam
hal perkawinan. Maka dari itu dalam makalah ini penulis akan mencoba
menjelaskan bagaimana perkawina dalam hukum adat tersebut, terkait denga
sistem, sifat serta bentuk-bentuk perkawinan.
PERKAWINAN
Hukum perkawinan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan dengan segala akibatnya, percerian dan harta
perkawinan[1].
Hukum perkawinan adat adalah bagian dari hukum tidak tertulis yang tumbuh & berkembang dalam masyarakat yang mengatur tentang perkawinan. Dalam Hukum Adat perkawinan adalah hidup bersama antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan maksud untuk
melanjutkan generasi[2].
Berbeda dengan Hukum Positif di Indonesia yang mengatur secara tegas masalah
perkawinan dalam UU No 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa[3].
Perkawinan memiliki arti yang sangat
penting, bukan lagi menjadi urusan pribadi semata tetapi juga menyangkut urusan
keluarga, suku, masyarakat dan kasta. Maka dari itu dalam pelaksanaanya tidak
terlepas dari upacara-upacar adat, dengan tujuan untuk keselamatan mempelai
dalam mengarungi rumah tangganya sampai akhir hayatnya. Segala bentuk upacara
ini merupakan upacara peralihan (rites de passage[4]),
setelah melawati upacara-upacara tersebut menjadi hidup bersama dalam suatu
ikatan keluarga (somah) sebagai sepasang suami-istri. Yang semula masih
satu atap dengan orang tua masing-masing kemudian mereka berdua menjadi suatu
keluarga baru yang berdiri sendiri[5].
a.
Syarat-syarat Perkawinan[1]
Di dalam
hukum adat tidak diatur secara rinci tentang syarat-syarat sahnya perkawinan,
bahkan syarat perkawinan pada masyarakat adat tergantung bentuk perkawinan yang
mereka laksanakan. Tetapi secara umum syarat sahnya perkawinan diantaranya
sebagai berikut :
a.
Adanya persetujuan sukarela dari kedua belah fihak calon suami istri,
kecuali jika mereka itu belum dewasa. (hukum adat dahulu tidak mengenal batasan
usia dalam perkawinan. Istilahnya adalah kawin gantung yaitu adanya perkawinan
anak-anak dimana hidup berkumpul sebagai suami istri dan berumah tangga sendiri
ditangguhkan sampai saat usia yang pantas)
b.
Persetujuan keluarga yaitu kedua orang tua belah fihak merupakan syarat
yang sudah pada tempatnya, terutama bagi calon mempelai yang belum dewasa.
(karena masalah perkawina merupakan keluarga/suku/clan yang bersangkuta)
c.
Tidak ada larangan/halangan perkawinan, yaitu :
§
Antar keluarganya
§
Antara anak angkat dengan orang tua angkatnya (di luar jawa)
§
Sistem exogami pada suku bangsa yang menggunakan sistem endogami. Dan
sebaliknya
§
Poligami pada beberapa daerah tertentu
b.
Sistem Perkawinan Adat
Dalam hukum
adat terdapat tiga macam sistem perkawinan, yaitu :
§ Endogami, adalah suatu sistem perkawinan
dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan oarang dari sukunya sendiri.
Sistem semacam ini terdapat di daerah Toraja atau di daerah yang masih
menghargai darah kebangsaan
§ Exogami, adalah sistem perkawinan dimana
seseorang hanya boleh menikah dengan orang diluar suku/ klannya. Sistem ini
terdapat di suku Batak, Gayo, alas dan Sumatra Selatan
§
Eleutherigami, adalah sistem perkawinan dimana seseorang
diperbolehkan menikah baik dengan orang satu suku ataupun yang berasal dari
luar
Adapun
azaz-azaz perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:[2]
a. Perkawinan
bertujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang
rukun, damai, bahagia dan kekal
b. Perkawinan
tidak saja harus sah dilaksanakan menurut agama atau kepercayaa, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para
anggota kerabat
c. Perkawinan
dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang
kedudukanya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat
d. Perkawinan
harus didasarkan atas perseujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat
dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui oleh masyarakat adat
e. Perkawinan
dapat dilakukan oleh pria atau wanita yang belum cukup umur atau masih
anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasrakan
izin orang tua/ keluarag atau kerabat
f. Perceraian
ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan
g. Keseimbangan
kedudukan antara suami dan istri –istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang
berlaku, ada istri yang kedudukanya sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang
bukan ibu rumah tangga
A.
RUANG-LINGKUP
PERKAWINAN
a. Sifat-sifat Perkawinan
Keanekaragaman
budaya Indonesia, menjadikan
tradisi hukum adatnya pun beragam
termasuk dalam hukum perkawinan adat, indikasinya ada bervariasinya tata
cara-prosesi perkawinan adat. Untuk mengetahui hukum perkawinan adat, harus
dipahami pola susunan
masyarakat, seperti Genealogi Patrilineal (garis
bapak),
Genealogi Matrilineal (garis ibu),
Genealogi Parental (garis
bapak + ibu),Genealogi
Teritorial (wilayah) karena hal ini juga merupakan salah
satu pengaruh dari sifat hukum adat dalam menentukan tempat tinggal setelah
perkawinan.
Di sebagian daerah Indonesia berlaku
adat kebiasaan bahwa upacara perkawinan dilakukan
di tempat keluarga mempelai
wanita meskipun terkadang juga dilakukan di tempat mempelai laki-laki. Mengenai
tempat tinggal suami istri setelah upacara pernikahan, dalam hukum adat dikenal
beberapa cara tergantung sifat perkawinannya. Adapun sifat-sifat perkawinan
dalam hukum adat yaitu :
a. Perkawinan Patrilokal, merupakan perkawinan yang menyebabkan kedua
mempelai bertempat tinggal di kediaman pengantin laki-laki, baik itu sementara
atau selamanya
b. Perkawinan Matrilokal, merupakan
kebalikan dari sistem patrilokal. Dimana dalam hal ini kedua mempelai tinggal
di rumah sang wanitaa (antara lain terdapat di Miangkabau dan Lampung)
c. Cara lain, yaitu setelah upacara pernikahan di kediaman
mempelai perempuan, kemudian pasangan suami istri tersebut tinggal sendiri
terpisah dari keuarganya masing-masing.
b. Pertunangan
Sebelum terjadi suatu perkawinan,
pada umumnya di Indonesia ada istilah lamaran (nglamar), atau
pertunangan. Yaitu suatu stadium (keadaan) yang besifat khusus yang di
Indonesia yang merupakan pendahuluan dari akan dilangsungkannya suatu
perkawinan[3].
Pertunangan ini timbul setelah adanya persetujuan dari kedua belah fihak untuk
mengadakan perkawainan. Dan persetujuan ini dicapai keduabelah fihak setelah
setelah terlebih dahulu ada suatu lamaran, yaitu permintaan /pertimbangan yang dikemukakan oleh fihak laki-laki kepada fihak
perempuan.
Lamaran ini umumnya
diwakilkan,melalui utusan yang mewakili fihak laki-laki. Pertemuan ini
membicarakan tentang kehendak mengadakan perkawainan, apabila telah terjadi
kesepakatan dengan kata lain lamaran diterima maka tahapan selanjutnya adalah
pertunangan. Pertunangan ini baru mengikat setelah adanya panjer atau
tanda pengikat. Dalam adat jawa disebut dengan panjer, paningset, di
Aceh dengan tanda kong narit, payancang (Jawa Barat), paweweh (Bali),
bobo mibu (Pulau Nias). Dasar pemebrian ini merupakan suatu perbuatan
religius, salah satu contonya di Bali di dareah Tnganan Pagringsingan yang
disebut masawen artinya meletakkan suatu tanda larangan dengan
memberikan sirih[4].
Dasar alasan pertunangan ini bervariasi
antar daerah di Indonesia, akan tetapi pada umumya adalah:
·
Karena ingin menjamin perkawina yang dikehendaki itu dapat
berlangsung segera.
·
Untuk membatasi pergaulan muda-mudi yang telah berpasangan
karena dikhawatirkan berbuat yang tidak semestinya
·
Memberi kedua belah fihak untuk saling mengenal[5].
Mengenai tanda pengikat, tiap
daerah berbeda-beda. Di beberapa dareha di Indonesia (Minagkabau, pada suku
Dayak serta bebrapa Suku Toraja) tanda pengikat ini diberikan timbal balik oleh
masing-masing fihak[6].Lazimnya
untuk zaman sekarang berupa cincin serta diberika juga timbal-balik oleh kedua
belah fihak. Dengan adanya pertukaran cincin berarti tahapan awal perkawinan
telah dimulai. T. Jafizman mengatakan bahwa dalam hukuma adat suatu persetujuan
untuk bertunangan tersebut telah mengikat apabila kedua belah fihak telah
saling memepertukarkan tanda (zachtbarr teken) sebagai bukti telah
terjadi peristiwa pertunangan yang merupakan peristiwa hukum[7]
Akibat
pertunangan ini adalah kedua belah fihak terikat untuk melakukan perkawinan.
Selain itu akan adanya hubungan yang lebih khusus antara bakal mertua dan bakal
menantu dan antara bakal besan. Akan tetapi pertunangan yang sudah
mengikat ini masih mungkin dibatalkan, tentunya dengan segala konsekwensinya
(khususnya jika diputuskan secara sefihak). Kalau pembatalan dari fihak pria
maka akan kehilangan peningset yang telah diberikan, namun jika pembatalan
dari fihak perempuan , maka fihak yang membatalkan ini harus membayar denda.
c. Bentuk-Bentuk Perkawinan
1. Perkawinan dengan peminangan ,
(aanzoek huwelijk)
Perkawinan dengan peminangan berarti
perkawinan yang didahului dengan melamar (Bali = mapedik ), yaitu ajakan
dari mempelai laki-laki yang disampaikan melalui perantaranya kepada fihak
perempuan. [8]Peminangan
merupakan pola yang umum dilakukan oleh masyarakat/pola yang dapat ditemui pada
tiap masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Bila lamarang diterima baik,
kadang dilakukan pertunangan lebih dahulu, dimana pertunangan tersebut akan
mengikat kedua belah pihak, pada saat diterimanya hadiah pertunangan yang
merupakan alat pengikat/tanda yang kelihatan, yang kadang-kadang diberikan oleh
fihak laki-laki kepada fihak perempuan/dari kedua belah pihak.
Sebagai tanda telah terjadi pertunangan,
biasanya fihak laki-laki memberikan semacam hadiah (tanda pertunangan) yang
disebut peningsut (Jawa), penyancang (Sunda), tanda konkrit/
janji sudah mengikat (Aceh), Pasikok/ pengikat (Sulawesi Selatan), Sasere/
Mengikat (Mentawai), Mas aye / emas Pengikat (Bei), Base
Panglarang/ Tanda Pencegah (Bali), Bobo Mibu/ Pengikat Rambut (Nias)[9]
2. Perkawinan lari bersama (wegloophuwelijk atau vlucht huwelijk).
Pada umumnya terdapat pada masyarakat
patrilineal.Perkawinan ini dilakukan dengan cara calon suami melarikan diri
bersama-sama atas kehendak mereka berdua. Dengan maksud, untuk menghindarkan
diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara peminangan
atau untuk menghindarkan diri dari rintangan-rintangan dari fihak orang tua dan
sanak saudara, yang terutama datangnya dari pihak perempuan.
Adanya kawin lari bersama ini bukan
karena tidak adanya persetujuan dri orang tua kedua belah fihak tetapi
merupakan cara adat untuk menghindarkan mas kawin/ uang jujur yang terlalu
tinggi. Akibat lari bersama ini mungkin lalu diadakan perkawinan setelah ada
kesepakatan diantara orang tua / keluarga mereka, atau dapat pula terjadi tanpa
izin orang tua tetapi mendapatkan pengesahan kepala adat/pengesahan raja.
3. Perkawinan Bawa Lari, (schaak
huwelijk)
Yaitu perkawinan dengan cara membawa
lari perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang lain dengan
paksaan. Pada masyarakat Bugis-Makassar, kawin bawa lari / silarian merupakan
hal yang tidak direstui oleh masyarakat, hal itu biasanya dilakukan dengan
berbagai alasan seperti belanja perkawinan yang ditentukan keluarga si gadis
terlampau tinggi. Apabila terjadi perkawinan bawa lari, maka oleh pihak
keluarga perempuan akan melakukan pengejaran oleh kaum Tomosiri dan kalau mereka berhasil menemukan keduanya dalam
pelarian itu, kemungkinan laki-laki akan dibunuh.
4. Perkawinan Jujur, (bruidschaat
huwelijk)
Adalah perkawinan yang di dahului dengan
penyerahan uang/ barang jujur dari fihak pria ke pihak wanita. Kawin jujur ini
terjadi pada masyarakat patrilineal. Fungsi dari uang jujur ini adalah sebagai
syarat magis untuk melepaskan calon istri dari keluarga nya untuk dimasukkan
dalam keluarga calon suaminya. Uang jujur ini bisa pula difahami sebagai uang
pembelian yang harus dibayar fihak mempelai laki-laki kepada fihak wanita.
5. Perkawinan mengabdi/kawin jasa (dienst
huwilijk)
Perkawinan mengabdi merupakan salah satu
bentuk perkawinan jujur, tetapi pembayarannya tidak berbentuk uang atau barang
yang berharga melainkan berupa tenaga kerja/ jasa/ pengabdian diri dari
pengantin pria kepada orang tua pengantin wanita. Perkawinan semcam ini bisa
dijumpai di daerah Batak (Mandinding), Lampung (ering Beli/ Ngisik),
Bali (Nunggonin), Bengkulu (Sumondo), Sunda (Mengabdi),
dan di Cirebon (Kawin Pacul)
6. Perkawinan Ambil Anak, (inlijf
huwalijk)
Perkawinan berganti atau bertukar dapat
terjadi kalau ada dua keluarga atau clan yang saling memberi pengantin, pria
maupuin wanita, sehingga antara keduanya terjadi hubungan perkawinan atau
berbesanan timbal balik (symetrisch
connubium). Perkawinan ini terjadi tanpa adnaya uang jujur karena menantu
laki-laki dipungut sebagai anak oleh mertuanya dengan maksud untuk
melangsungkan garis keturunan mertuanya itu. Perkawinan berganti sering terjadi
di Ambon di kalangan orang-orang Tolainang (Sulawesi Tenggara) dan di daerah
Irian Jaya.
7. Perkawinan Berganti/Bertukar (ruil huwelijk)
Perkawinan ini dapat terjadi jika ada 2
keluarga/ klan yang akan berbesan, pria maupun wanita sehingga antara keduanya
terjadi hubungan perkawinan atau berbesan timbalbalik (symetrisch connubim).
Perkawinan semacam ini dilakukan di daeah Ambon di kalangan orang-orang
Tolainang.
8. Perkawinan Ipar, (liveraat)
Perkawinan ipar/mengganti/levieraat/substitution marriage, ialah perkawinan antara sorang janda yang
menetap pada keluarga almarhum suaminya dengan adik laki-laki dari almarhum
suaminya. Perkawinan semacam ini terdapat di daerah Batak Toba (Pareakhon),
Palembang (Ganti Tikar), Bengkulu (Kawin Anggau), Lampung (Nyemalang)
dan Jawa Tengah (Tunggak Semi). Pada awalnya merupakan perkawinan yang
khas terdapat pada masyarakat hukum adat patrilineal sebagai akibat adanya
perkawinan jujur.
9. Perkawinan Lanjutan / Sororot (contuniation marriage).
Merupakan kebalikan dari kawin ipar.
Disini duda/balu yang ditinggal mati istrinya kawin dengan saudara (adik)
perempuan dari almarhum istrinya. Istri kedua ini melanjutkan tempat kedudukan
istri pertama yang meninggal itu.
10. Perkawinan Baku Piata
Masyarakat sangihe menyebutnya dengan
Nepa piara, yakni dengan mendatangi rumah seorang perempuan dan tinggal bersama/hidup
bersama. Dengan hidup bersama ini mereka oleh masyarakat sudah diangab sebagai
pasangan suami istri, sehingga tidak diperlukan upacara nikah / upacara
perkawinan. Sekarang pada umumnya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
B.
PERCERAIAN
DAN AKIBATNYA
Tujuan utama dari perkawinan adalah membina kehidupan bersama
yang kekal samapai akhir hayat. Akan tetapi dalam perjalanannya sebuah rumah tangga tidak
kan bisa lepas dari permasalahan. Dan seringkali apa yang menjadi tujuan
perkawinan kandas di perjalanan. Sebenarnya putusnya perkawinan adalh hal yang
wajar saja karena dasar perkawinan adalah ikatan. Dengan kata lain bahwa
perkawinan adalah sebuah kontrak[10].
Pada dasarnya alasan utama pitusnya
perkawinan adalah karena kematian dan perceraian walaupun hubungan perkawinan belum tentu
putus. Hal ini dikarenakan dalam hukum adat setempat tidak menganal putusnya
hubungan perkawinan. Contohnya seorang suami meninggal, dalam hal ini putusnya
perkawinan karean kematian. Akan tetapi hubungan kekerabatan diantara mereka
tidak putus dikarenakan sebab akibat perkawinan, lebih-lebih jika terdapat
keturuna
Di dalam masyarakat adat yang bersifat bilateral,
apabila suami wafat, maka istri yang putus kembali kekerabat asalnya. Tetapi
dikalangan masyarakat pertrinial dalam bentuk perkawinan jujur, apabila
suami wafat, istri tetap di rumah kerabat suami meskipu tidak mempunyai keturunan. Sebaliknya dalam
bentuk perkawinan semanda, dimana suami si janda dapat melakukan perkawinan
lagi dengan laki-laki lain yang masuk megikuti
tempat kediaman istri, dan bila istri yang meninggal suami tidak kembali
lagi pada kerabatnya sendiri.[11]
Meskipun
perceraina ini lazim terjadi, akan tetapi ada pula daerah yang tidak menganl
istilah perceraian seperti di Lampung dan di
Aceh. Tidak jauh berbeda di
daerah Jawa, perceraian adalah hal yang snagat tidak disukai.
Mengutip pendapat Prof. Djojodiguno bahwa cita-cita orang jawa adalah berjodoh
sekali seumur hidup[12].
Dalam
hukum positif yaitu di dalam UU No.I tahun 1974 pasal 39: desutkan bahwa : “perceraian
hanya dapat dilakukan di depan siding
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dantidak
berhasil mendamaikan kedua belahpihak dan untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alas an, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai
suami-istri”.
Alasan terjadinya perceraian bermacam-macam. Tetapi
dari variasi ini terdapat kesamaan yaitu karena adanya zina (overspel)[13]
yang dilakukan oleh istri. Selain alasan umum di atas juga ada alasan-alasan yang lain, yaitu :
·
Tidak memperoleh keturunan
baik karena kemandulan atau karena suami yang impoten dan suam meninggal
dunia (minta cerai dari jabu asal suaminya -- Batak)
·
Karena kerukuna rumah tangga telah tidak dapat dengan
sungguh-sungguh dipertahankan lagi (Lampung)
·
Karena campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam
soal rumah-tangga mereka (Aceh)[14]
·
Suami meninggalkan istri sangat lama ataupun istri
berkelakuan tidak sopan.
·
Adanya keinginan bersama dari kedua belah fihak adanya
persetujuan untuk bercerai[15]
Akibat Perceraian
Setelah
terjadi perceraian maka masing-masing bekas suami istri bebas untuk kawin lagi.
Bekas istri sebelum menikah lagi harus melewati masa tunggu (iddah)
sesuai ketentuan agamanya. Sedangkan masa tunggu yang ditetapkan oleh UUP
adalah :
§
Apabila sebab putusnya karena kematian maka iddahnya 130
hari
§
Apabila sebab putusnya karena perceraian maka iddahnya Tiga
kali suci atau ± 90 hari
§
Sampai ia melahirkan, apabila janda tersebut dalam keadaan
hamil.
Kalau
terbukti janda tersebut tidak pernah/belum pernah berhubungan dengan mantan
suamu maka bisa langsung kawin, tidak perlu masa tunggu[16]
Menurut
hukum adat dan hukum islam, bekas istri tidak dapat menuntut nafkah dari bekas
suaminya, sedangkan hukum Kristen ini dapat diatur dalam pasal 62 ordonansi
tanggal 25 Pebruari 1993 Staatsblad No. 74[17].
Berbeda dengan UUP yang menetukan akibat dari putusnya perkawinan karena
perceraian :
§ Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, hal ini dilakukan demi kepentingan anak
§ Bapak yang bertanggugjawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak
§ Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istrinya[18]
§ Akibat perceraian terhadap anak dan
kekerabatan
Masyarakat Patrilinial
|
Masyarakat matrilinial
|
Masyarakat
parental atau bilateral
|
Putusnya
perkawinan karena kematian atau perceraian,maka kedudukan anak berada dalam
kekerabatan suami
|
Putusnya
perkawinan karena kematian atau perceraian, maka anak-anak berkedudukan dalam
kekerabatan istri
|
Putusnya perkawinan karena kematian atau
perceraian, maka kedudukan anak-anak tergantung keadaan.
|
C.
HARTA
PERKAWINAN
Perkawinan,
selain mengakibatkan suatu ikatan hak dan kewajiban, juga menmbentuk kehidupan
baru dari para pribadi kodrati yang melakukan hubunga perkawinan itu. Yaitu
terbentuknya suatu keluarga (somah: Jawa gezin : Belanda houshold : Inggris). Dalam memenuhi
kehidupan bersama tersebut tentu dibutuhkan fasilitas berupa materi atau harta
kekayaan.
Harta kekayaan hasil persatuan pernikahan
lazimnya di bagi menjadi 4 golongan, yaitu :
a) Harta
yang berasal dari keluarga/ orang tua masing-masing sebagai hibah atau warisan.
Harta
suami/istri yang diperoleh dari pemberian orang-tua atau keluarganya sebelum
mereka kawin disebut harta asal/ gawan (jawa), atau harta pusaka (melayu),
atau sisila (Makassar), atau Bebektan (Bali), atau watamparen siwali
(Bugis). Dalam masa perkwainan harta ini harus dikuasai sendiri-sendiri. Dan
apabila terjadi perceraian maka harta tersebut tetap mengikuti pemiliknya
semula. Dalam hukum adat berlaku asas bahwa harta asal itu tidak dapat
beralih/dialihkan keluar dari keluarga. Agar tidak hilang maka harta asal
tersebut tidak dapat diwaris oleh janda/duda almarhum dan anak angkat[19].
b) Harta
yang berasal dari hasil usaha suami/istri baik sebelum/ seelama pernikahan
Harta
yang diperoleh dari hasil usaha masing-masing disebut harta pencaharian
(Minangkabau), gunaknya (Bali), gana, go
no (yang diperoleh suami di Jawa), gini
(yang diperoleh istri di Jawa). Harta ini dibagi menjadi dua bagian :
·
Harta yang diperoleh sebelum mereka kawin, harta ini tetap
mejadi milik dan dikuasai oleh pemiliknya masing –masing, jika terjadi
perceraian harat usaha sendiri ini tetap dimiliki dan dikuasai oleh pemiliknya
masing-masing[20].
·
Harta yang diperoleh sendiri oleh masing-masing suami/istri
sesudah mereka kawin, pada umumnya termasuk harta bersama. Di Aceh penghasilan
suami menjadi miliknya sendiri, bilamana si istri dulu tidak memberikan dasar
material. Juga di Jawa Barat penghasilan yang diperoleh di mana perkawinan
menjadi milik si istri, hal ini terjadi apabila si istri pada waktu
melangsungkan perkawianan merupakan orang kaya dan suami dari golongan miskin.
Demikian juga kiranya di kalangan para priyayi di Jawa dapat dianggap bahwa
penghasilan si suami menjadi miliknya sendiri.
c) Harta
yang diperoleh bersama-sama selama masa perkawinan
Harta
yang diperoleh suami istri dalam masa perkawinan termasuk harta bersama yang
dikuasai oleh suami istri bersama-sama. Dalam hukum adat harta bersama ini
disebut : gono-gini (Jawa), guna-kaya (Sunda), ghuna-ghuna (Madura),
harta suarang (Minagkabau)[21].
Menurut keputusan Mahkamah Agung tanggal 7 November 1956 no 51 K/Sip/1956, maka
menurut hukum adat, semua harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan
termasuk gono-gini, meskipun hasil kegiatan suami sendiri[22].
Bagian dari gon-gini yang merupakan barang warisan adalah sama antara suami dan
istri[23].
Apabila terjadi perceraian maka harta bersama ini dibagi
antara kedua belah fihak, masing-masing memperoleh bagian separuh. Tetapi ada
beberapa daerah yang membaginya sedemikian rupa. Misalnya di Jawa Tengah
terdapas asas sagendong sepikul[24]
yaitu suami memperoleh bagian
dua per tiga, sedangkan istri hanya sepertiga[25].
d) Barang-barang
yang dihadiahkan kepada suami istri bersama pada waktu pernikahan[26]
Harta
yang berasal dari hadiah yang diberikan orang-lain pada waktu pernikahan
menjadi milik bersama, dana kalau terjadi perceraian maka harta tersebut dibagi
sama besarnya antara suami-istri.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi, Ali 1986 Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum
Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW.Jakarta : Bina
Aksara
Effendy, H.A.M. 1990 Pokok-Pokok
Hukum Adat, Cet III: Duta Grafika,
Haar, Ter Beginslend en Stelsel van
het Adatrech. Soebekti Poesponoto ed. 1979 Asas-Asas dan Susunan Hukum
Adat . terj. 3 Jakarta : PT. Pradya
Paramita
Hadikusuma, Hilman 1982, Hukum Perkawinan Adat, Bandung:
Penerbit Alumni,
Jafizham, T, Persentuhan Hukum di
Indoonesia dengan Hukum Perkawinan Islam
Nuruddin Amirul dan Azhari Akmal , 2006,
Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet III , Jakarta : Kencana Prenada
Media Grup
Setyani, Nur Hidayati Hand out
perkuliahan hukum adat dengan, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Soekanto, Meninjau Hukum Adat
Indonesia Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Jakarta: CV
Rajawali,
Soekanto, Soerjono Hukum Adat
Indonesia , Jakarta : Grafindo Persada,
Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2007Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan, Cet ke VII
Jakarta : Sinar Grafika,
Wignodipoero, Soerojo, 1989 Pengantar
dan Asas-Asas Hukum Adat,Cet ke VIII, Jakarta : Haji Masagung
www.skripsi-tesis.com07/04/perkawinan
adat suku sasak
Ga keliatan tulisannya ..
BalasHapusgabisa dibaca karna design blog yg sangat jelek dr tulisan gakeliatan backgroubd pun norak
BalasHapus