Penghayatan Tradisi Nyadran
Sebagai orang jawa asli, saya cukup bangga dengan ragamnya budaya dan tradisi yang ditinggalkan para leluhur. Teringat dengan masa-masa perkuliahan Islam dan Kebudayaan Jawa di semester 6 yang diamu oleh Bapak Anasom, setiap kali ada yang mempresentasikan makalahnya di depan entah itu membahas tentang topik apa, antara orang sunda dan jawa pasti ribut. Bahkan teman q yang orang Betawi ketika presentasi mengatakan bahwa Budaya Jawa itu ribet dan njlimet. Untuk satu kata saja, dalam bahasa jawa bisa jadi 3 kata, misalnya makan, bisa pake mangan, nedhi, atau dahar. Belum lagi budaya lainnya, yang kental dengan nuansa mistik dan magis . Namun dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang jlimetnya budaya jawa seperti yang dibilang teman saya itu, atau juga tentang teman-tenan saya yang sering bingung dengan bahasa jawa lantaran mereka berasal dari luar pula jawa, orang betawi atau sunda. Disini saya akan sedikir ngomong tentang betapa saya sangat bangga menjadi salah satu orang jawa, yang masih bisa menikmati tradisi-tradisi khas jawa yang sangat beragam itu sampai saat ini. Khususnya yang terlaksana di daerah saya tinggal.
Ada banyak tradisi yang dilakukan orang-orang jawa (baca: kejawen) pada waktu-waktu tertentu. Tradisi tersebut merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang , dan masyarakat jawa percaya jika tradisi tersbut tidak dilaksanakan maka mereka akan mendapatkan celaka. Salah satu tradisi jawa yang masih terus dilestarikan adalah tradisi nyadran. Nyadran merupakan tradisi yang dilakukan pada bulan Sya'ban atau menurut orang jawa bulan Sya'ban disebut Sasi Ruwah. Ruwah sendiri sebenarnya berasal dari kata arwah atau roh. Dari kata itulah Ruwah dijadikan sebagai bulan untuk mengenang leluhur, dengan wujud mendoakan arwah mereka. Tradisi ini biasanay dilaksanakan 10 har sebelum Ramadhan, namun terkadang bisa lebih awal, dan ada pula saat pertengahan bulan Sya'ban ni. Tergantung dari daerahnya masing-masing.
Masing-masing daerah di Jawa memiliki cara atau ritual yang berbeda-beda dalam acara Ruwahan ini. Namun satu hal yang sama adalah adanya ritual nyadran tersebut. Nyadran (berziarah) merupakan acara doa bersama untuk awah-arwah leluhur yang telah meninggal. Ritual ini dimulai dengan acara besrik (membersihkan) makam para leluhur, baru kemudian diuncaki dengan ritual nyadran tersebut. Nyadran biasanya dilakukan di lingkungan pemakaman, masjid, pantai, bahkan ada yang dilakukan diperbukitan. Hal itu tergantung kesepakatan serta keyakinan dari masyakat disitu. Uniknya tradisi ini hanya dimiliki oleh orang Jawa.
Di tempat saya sendiri pelaksanaan tradisi nyadran mengalami perkembangan. Dahulu ketika saya masih kecil, masih ingat betul dalam benak saya, ritual ini dilakukan dengan mengadakan kenduri, atau selametan atau metokke yang berupa makanan berbentuk tumpeng yang kemudian diberi lauk, ayam, sayuran dll. Untuk kemudian di bawa dan dibuat barisan memanjang sepanjang jalan pemakaman hingga masjid, kemudian dengan menggunakan daun pisang, bawaan tadi digelar untuk kemudian disantap bersama warga lainnya, setelah dipanjatkan doa terlebih dahulu. Sedangkan sekarang, pelaksanaan nyadran dilakukan secara bertahap. Awalnya bersik di makam, dilanjutkan dengan mendoakan arwah para leluhur secara bersama-sama. Sedangkan acara kenduri atau metokke dilaksanakan pada malam harinya di masjid setelah Magrib. Saya tidak tahu pasti penyebab berubahnya tradisi tersebut, namun menurut saya hal tersut kembali ada kesepakatan di masyarakat itu. Meski berubah, subtansi nyadran tetap terjaga, yaitu mendoakan para leluhur.
Nyadran, memang identik dengan makanan. Ya.. karena dalam pelaksanaan ritual itu, masing-masing orang membawa makanan pokok. Namun hal ini kembali ke daerahnya masing-masing. Jika di daerha saya, nyadran itu yang dibawa adalah nasi tumpeng berikut lauk pauk yang berua ayam, tahu tempe sayur dan krupuk. Maka di daerah lain ada yang membawa ketan, kolak dan kue apem. Selain itu ada pula yang membawa buah-buahan selain membawa nasi dan sayuran yang masak hasil pertanian mereka. Semua makanan itu tidaklah dibuat sesaji, namun setelah dibawa dan di didoakan kemudian di makan bersama-sama. Ada pula yang kemudian mengirimkan makanan terut ke sanak saudara di daerah lain atau cuku para tetangga. Tujuannya tak lain adalah untuk menjaga tali silaturahmi.
Tradisi nyadran memang tidak ada dalam islam. Namun bukan berarti tidak ada makna ata hikmah dari pelaksanann tradisi tersbut. Ada beberapa asek yang bisa kita capai dari tradisi nyadran tersebut. pertama dalam konteks mendoakan arwah leluhur, berati kita yang melaksanakan kegiatan itu sudah mewujudkan birrul walidain atau ketaatan pada orang tuan (leluhur) sebagai salah satu bentuk amal Jariyah.kedua Dalam konteks sosial, tradisi ini merupakan ajang ukhuwah tali persaudaraan sesama muslim. Tidak pandang apakah ia orang kaya atau miskin. Apakah ia pejabat atau sekedar petani, semuanya berkumpul, duduk bersila dan makan bersama. Poin kedua inilah yang membedakan tradisi nyadran dengan acara kenduri biasa. Dimana tradisi Nyadran ini membuktikan adanya local genius dari leluhur kita. Nilai-nilai kebaikan yang dibawa agama-agama dunia ke Indonesia terukti tidak menenggelamkan penghayatan budaya tradisional yang hidup di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar